Mengapa Telat Menikah?
Ada beberapa sebab mengapa seseorang telat nikah antara lain
sebagai berikut:
- Selera Tinggi
Selera tinggi yang dimaksud bukan dalam makanan, tapi dalam memilih jodoh. Inginnya mendapat pasangan yang sempurna segalanya. Tak ada kekurangan sedikitpun. Agamanya bagus, cakep, kaya raya, keturunan baik-baik dan lain-lain. Yang demikian tentu sulit mendapatkannya. Akibatnya, setiap kali ada wanita yang datang, selalu saja kandas. Belum kelasnya, katanya! Sebaliknya, yang wanita juga punya kriteria khusus. Saya ingin nikah dengan yang sudah mapan dan cakep, dan lain-lain. Atau Paling tidak pegawai negeri atau yang sudah punya rumah pribadi dan mobil sendiri. Karena kriteria yang cukup sulit ini, maka banyak pria dan wanita yang harus telat nikah.
- Study Oriented
Banyak juga yang telat nikah karena study oriented. Belajar dan belajar adalah prioritas utama. Siang, malam, pagi, petang terus belajar. Karena kesibukannya belajar di kampus, sampai-sampai lupa kalo butuh pendamping pelengkap hidup.
- Kecukupan Angan-angan, tercapainya cita-cita
Saya belum punya apa-apa untuk berumah tangga, begitu alasan yang diutarakan sebagain pria untuk melegitimasi pengunduran pernikahan. Punya apa-apa, yang dimaksud sering bermakna belum punya rumah sendiri, mobil sendiri, dan lain - lain. Prinsip belum punya apa-apa ini sering dilontarkan. Padahal orang yang nikah tidak mesti harus punya hal-hal di atas terlebih dahulu. Rumah, ngontrak dulu juga tidak maslah. Nggak ada mobil juga tidak apa-apa, bisa naik angkutan, motor atau sepeda. Kesemuanya bukan syarat utama dalam berumah tangga.
- Kepinginan Orangtua
Pesan khusus dari orang tua terkadang jadi penghalang untuk melangsungkan pernikahan. “Sebenarnya sih udah pingin juga, tapi orang tua saya…”, demikian keluhan sebagian orang. Orang tua terkadang melarang si anak yang sudah waktu untuk menikah dan berumah-tangga. Alasannya macam-macam, seperti bantu orang tua dulu lah, jangan terlalu muda, rampungkan studimu, lanjutkan dulu karirmu.. Permintaan orang tua yang seperti ini sering membuat para ikhwan dan akhwat jadi mikir lebih panjang tentang indahnya sebuah pernikahan. Sebenarnya tidak ada pertentangan antara nikah dengan berbakti pada orang tua. Secara umum, orang tua berkeinginan anaknya hidup bahagia. Oleh karena itu, jika si anak mampu meyakinkan orang tua tentang kehidupan rumah tangganya, insyaAlloh.
- Prasangka Buruk Tentang Pernikahan
Ini alasan klasik ini juga sering diungkapkan sebagian pria dan wanita. Nikah itu susah, nggak usah terburu-buru. Belum lagi kalo udah punya anak, tambah susah lagi dong… Akhirnya pengunduran jadwal nikahpun jadi pilihan. Ada juga yang nggak pingin susah (karena nikah) kemudian cari jalan pintas. Maunya enak melulu, tanpa mau tanggung jawab. Macem-macem solusinya, bisa pacaran atau dolan kesini, dolan kesitu, keluar kesana, keluar kesini…..
- Trauma Kegagalan
Sebagian pria maupun wanita merasa trauma dengan peristiwa kegagalan yang menimpa. Pernah dilamar ataupun melamar tapi batal ataupun ditolak. Kadang tak cuma sekali tapi berkali-kali. Akibatnya ia jadi putus asa dan takut mengalami hal yang serupa. Malu banget, demikian katanya. Apalagi bila kegagalannya sempat terdengar oleh teman-teman yang lain.
- Kompetisi Dalam Mencari Pasangan
Kiat Menjalani Telat Nikah
Fenomena telat menikah bukan monopoli para wanita. Para
pria pun merasakan tekanan hebat. Semakin bertambah umur, semakin sering
berjumpa dengan kenalan, lalu mereka bertanya, “Kapan nikah?” Kenyataan seperti
itu adalah tekanan yang bukan main beratnya.
Kelambatan menikah bagi para pria dilatar-belakangi banyak faktor, antara lain,
belum siap memberi nafkah, belum menemukan calon yang tepat, menjadi tumpuan
keluarga, tidak memiliki “modal” cukup untuk melangsungkan acara resepsi sesuai
standar modern, kekhawatiran berlebihan melihat beban kehidupan rumah-tangga,
terlilit beban utang, mengidap penyakit-penyakit serius dan aneka alasan lain.
Masalah ini tidak cukup selesai dengan ucapan, “Wahai para pria, rezeki itu
dari Allah. Tidak usah takut menikah hanya gara-gara soal rezeki.”
Telat menikah bukan monopoli muslimah-muslimah biasa. Kalangan muslimah aktivis, solihah, para penggiat dakwah, mereka pun merasakan hal yang sama. Hanya, cara mereka menyikapi problema itu lebih halus dan sabar. Realita kerisauan itu tetap ada, hanya lebih terkendali. Namun tidak dipungkiri, ada juga yang berguguran karena tidak kuat menahan tekanan.
Telat menikah bukan monopoli muslimah-muslimah biasa. Kalangan muslimah aktivis, solihah, para penggiat dakwah, mereka pun merasakan hal yang sama. Hanya, cara mereka menyikapi problema itu lebih halus dan sabar. Realita kerisauan itu tetap ada, hanya lebih terkendali. Namun tidak dipungkiri, ada juga yang berguguran karena tidak kuat menahan tekanan.
Persoalan telat menikah bukan masalah kecil. Kalau disimak, ini adalah
persoalan sosial yang cukup serius. Dari titik ini menjalar berbagai persoalan
ke tempat-tempat lain. Sikap liberal wanita dalam berbusana, bergaul, bersikap
dan lain-lain, sebagiannya tampak dilandasi niatan ingin memenangkan
“kompetisi”.
Tanpa disadari, sikap seperti itu justru melahirkan problema-problema baru yang
tidak kalah serius: pelecehan seksual, pergaulan bebas, aborsi, demam
pornografi, selingkuh dan lain-lain. Lalu apa solusi atas masalah ini? Tentu,
kita tidak akan mengatakan, “Semua pihak harus peduli untuk berpikir keras
mencari solusi-solusi yang lebih efektif dan efisien.” Budaya basa-basi seperti
ini sudah selayaknya dilempar ke museum. Solusi itu bisa digali dengan
mengoptimalkan kesadaran positif para muslimah itu sendiri antara lain sebagai
berikut:
- Kajilah kembali persoalan pernikahan ini, dari segi keindahan maupun tanggung-jawabnya. Jangan menyepelekan, namun juga jangan ketakutan. Bersikaplah adil (sesuai dengan fungsi dan kemanfaatan). Mempersiapkan diri untuk memikul beban, tapi tetap bersemangat tinggi menyongsong hari-hari yang sakinah mawaddah warrohmah.
- Pikirkan setiap peluang dan jalan-jalan ke arah pernikahan yang mungkin bisa kita dapatkan, sejauh itu halal dan benar. Jangan membuat sekat-sekat sehingga ia akan memenjara diri sendiri, namun juga jangan tergiur oleh aneka bujuk rayu yang bisa menyeret kita ke sudut-sudut menakutkan. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa melindungi diri kita.
- Ketiga, jangan takut untuk menempuh risiko. Kalau dipikirkan, di dunia ini tidak ada yang tidak berisiko. Kesendirian ada risiko, melaju ke pernikahan adalah risiko, berumah-tangga pun tidak sepi dari risiko. Bukan risiko yang perlu ditakutkan, tapi takutlah jika kita jatuh ke lubang-lubang dosa karena salah melangkah.
- Terakhir, jawablah seluruh tawaran pernikahan yang datang kepada kita, seideal atau sesederhana apapun tawaran itu dengan jawaban ini, “Saya tidak begitu saja menolak atau menerima, namun beri saya waktu untuk istikharah. Biarlah petunjuk Allah yang akan menjawab ajakan ini.” Lalu tunaikan istikharah sesuai sunnah Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Jangan putus-putus menunaikan itu hingga hati Anda dilapangkan untuk memilih satu dari dua jawaban, menerima atau menolak.(jdhskn)
Tag :
Hikmah & Keluarga