Soal Data PHK, KSPI Menilai Kemenaker Melakukan Kebohongan Publik

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan, Kementerian Ketenagakerjaan kembali melakukan kebohongan publik dengan menyatakan bahwa data Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hanya 1.347 orang.
Padahal, menurut data KSPI, sudah puluhan ribu pekerja di PHK karena menurunnya daya beli rakyat yang disebabkan oleh politik upah murah lewat PP Nomor 78 Tahun 2015.


"Data kami ini berdasarkan posko-posko buruh seluruh Indonesia," tegas Said, Jakarta, Senin (15/2/2016).
Said menjelaskan, ada tiga kategori soal data PHK, yakni yang pertama kategori I, jumlah PHK mencapai 3.668 orang. Hal ini dikarenakan perusahaan tersebut dipastikan sudah tutup
Kemudian kategori II, jumlah PHK mencapai 8.300 dari tahun 2015 dan sudah proses PHK, terdiri dari Jaba Garmindo 4.700 orang, Ford Indonesia 2000, Philips Sidoarjo 800 oramg dan Panasonic Pasuruan 800 orang.
Sementara itu, kategori III, PHK terjadi sepihak sebanyak 712 orang, yang terdiri dari Sunstar yang sedang proses 271 orang, DMC TI 255 orang dan Oksum 186 orang.
"Pemerintah tidak responsif dan tidak mau turun ke lapangan melihat fakta yang ada," paparnya.
Hingga kini pihak pemerintah maupun Apindo dan Kadin belum juga berani mengumumkan ribuan PHK buruh ini karena dua faktor, yaitu yang pertama pemerintah ingin menutupi angka PHK tersebut karena takut dianggap gagal dalam menjalankan paket kebijakan ekonominya.

"Sekarang sudah ramai di tentang PHK ini tetapi pemerintah belum juga mengumumkan angka PHK sedikit demi sedikit," cetus Said.
Said menambahkan, jika nanti pemerintah telah mengumumkan angka korban PHK, pihak pengusaha dalam hal ini Apindo maupun Kadin pasti akan mengamini perlahan-lahan yang kemudian berujung pada meminta insentif.
Said menjelaskan, faktor kedua adalah ketidakmampuan pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang salah satu penyebabnya adalah kebijakan upah murah pemerintah melalui PP 78/2015 tentang pengupahan. Faktanya, semua harga barang, ongkos transportasi tetap mahal dan sewa rumah mahal walaupun harga BBM sudah diturunkan dan tidak ada efek, bahkan ditengah harga minyak dunia rendah sekalipun.
"Hal ini diperparah dengan sikap pengusaha yang menyatakan tidak ada efek apapun di sektor rill dari paket kebijakan ekonomi tersebut," tukasnya.(okezone)





pageads