Ketua Perhimpunan Candra Naya, I Wayan Suparmin berencana mengugat jual-beli lahan antara Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) dengan Pemda DKI Jakarta.
Pasalnya, proses hibah lahan dari Perhimpunan Candra Naya ke YKSW dinilai tidak sah, karena tidak melalui persetujuan rapat anggota.
"Kita akan pertimbangan matang, berpikir dulu. Ini masukan yang bagus, karena untuk mengajukan gugatan harus mempertimbangkan sampai sejauh mana kasusnya akan menang," kata I Wayan Suparmin di Jakarta, Rabu (27/4).
Pernyataan I Wayan Suparmin ini menambah panas polemik pembelian sebagian lahan Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, terutama menyangkut keabsahan proses hibah dari Perhimpunan Candra Naya ke YKSW.
I Wayan mengatakan, total luas lahan RS Sumber Waras dibagi menjadi dua bagian.
Pertama, yang bersertifikat hak guna bangunan (HGB) yakni yang dijual kepada Pemprov DKI Jakarta seluas 36.410 meter persegi.
Kedua, bersertifikat hak milik seluas 32. 370 meter persegi.
Bagian yang bersertifikat hak milik inilah yang menjadi polemik antara YKSW dengan Perhimpunan Sosial Candra Naya sebagai induk organisasi.
"Kalau menurut anggaran dasar yang lama, proses hibah itu tidak sah, karena semua apa yang dilakukan yayasan mesti seizin Candra Naya. Tapi oleh mereka (YKSW) dibuat anggaran dasar (AD) yang baru, kemudian diubah-ubah, sudah ada dua sampai tiga kali," katanya.
Wayan menjelaskan bahwa lahan tersebut awalnya dibeli oleh Candra Naya pada 1956 dari uang sumbangan masyarakat. Lalu diserahkan pengelolaannya kepada YKSW sebagai badan hukum yang sengaja dibentuk untuk mengelola tanah itu.
Masalah timbul pada 1970, ketika Patmo Soemasto selaku ketua Perhimpunan Candra Naya sekaligus Ketua YKSW menghibahkan lahan bersertifikat hak milik dari Candra Naya ke YKSW tanpa persetujuan anggota.
Sertifikat hibah yang dikeluarkan saat itu kemudian secara otomatis dianggap gugur karena tanpa melalui rapat umum anggota.
Kemudian pada 1996, Patmo kembali menghibahkan dengan mekanisme yang sama, namun melalui rapat umum anggota sehingga dianggap sah.
Tetapi, dua tahun kemudian, karena adanya gelombang demonstrasi karyawan RS Sumber Waras, sertifikat hibah kembali dibatalkan, dengan keputusan rapat umum anggota.
Kartini Mulyadi, sebagai Ketua YKSW tahun 2005, berulang kali mengirim somasi kepada Wayan untuk memberikan sertifikat hak milik lahan. Kartini dalam hal ini mengacu pada sertifikat hibah tahun 1970 yang tidak dibatalkan melalui rapat umum anggota. Dengan alasan inilah, Kartini mengklaim lahan tersebut sudah dihibahkan kepada YKSW.
Kartini Mulyadi kemudian melaporkan I Wayan ke Bareskrim Mabes Polri dengan tuduhan penggelapan sertifikat hak milik lahan pada akhir 2014.
Wayan pun mendekam di Rutan Salemba selama 148 hari dan sudah dibebaskan usai banding di Pengadilan Tinggi.(SP)
Pasalnya, proses hibah lahan dari Perhimpunan Candra Naya ke YKSW dinilai tidak sah, karena tidak melalui persetujuan rapat anggota.
"Kita akan pertimbangan matang, berpikir dulu. Ini masukan yang bagus, karena untuk mengajukan gugatan harus mempertimbangkan sampai sejauh mana kasusnya akan menang," kata I Wayan Suparmin di Jakarta, Rabu (27/4).
Pernyataan I Wayan Suparmin ini menambah panas polemik pembelian sebagian lahan Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, terutama menyangkut keabsahan proses hibah dari Perhimpunan Candra Naya ke YKSW.
I Wayan mengatakan, total luas lahan RS Sumber Waras dibagi menjadi dua bagian.
Pertama, yang bersertifikat hak guna bangunan (HGB) yakni yang dijual kepada Pemprov DKI Jakarta seluas 36.410 meter persegi.
Kedua, bersertifikat hak milik seluas 32. 370 meter persegi.
Bagian yang bersertifikat hak milik inilah yang menjadi polemik antara YKSW dengan Perhimpunan Sosial Candra Naya sebagai induk organisasi.
"Kalau menurut anggaran dasar yang lama, proses hibah itu tidak sah, karena semua apa yang dilakukan yayasan mesti seizin Candra Naya. Tapi oleh mereka (YKSW) dibuat anggaran dasar (AD) yang baru, kemudian diubah-ubah, sudah ada dua sampai tiga kali," katanya.
Wayan menjelaskan bahwa lahan tersebut awalnya dibeli oleh Candra Naya pada 1956 dari uang sumbangan masyarakat. Lalu diserahkan pengelolaannya kepada YKSW sebagai badan hukum yang sengaja dibentuk untuk mengelola tanah itu.
Masalah timbul pada 1970, ketika Patmo Soemasto selaku ketua Perhimpunan Candra Naya sekaligus Ketua YKSW menghibahkan lahan bersertifikat hak milik dari Candra Naya ke YKSW tanpa persetujuan anggota.
Sertifikat hibah yang dikeluarkan saat itu kemudian secara otomatis dianggap gugur karena tanpa melalui rapat umum anggota.
Kemudian pada 1996, Patmo kembali menghibahkan dengan mekanisme yang sama, namun melalui rapat umum anggota sehingga dianggap sah.
Tetapi, dua tahun kemudian, karena adanya gelombang demonstrasi karyawan RS Sumber Waras, sertifikat hibah kembali dibatalkan, dengan keputusan rapat umum anggota.
Kartini Mulyadi, sebagai Ketua YKSW tahun 2005, berulang kali mengirim somasi kepada Wayan untuk memberikan sertifikat hak milik lahan. Kartini dalam hal ini mengacu pada sertifikat hibah tahun 1970 yang tidak dibatalkan melalui rapat umum anggota. Dengan alasan inilah, Kartini mengklaim lahan tersebut sudah dihibahkan kepada YKSW.
Kartini Mulyadi kemudian melaporkan I Wayan ke Bareskrim Mabes Polri dengan tuduhan penggelapan sertifikat hak milik lahan pada akhir 2014.
Wayan pun mendekam di Rutan Salemba selama 148 hari dan sudah dibebaskan usai banding di Pengadilan Tinggi.(SP)
Tag :
Hukum