Sejumlah kader senior Partai Golkar mengkritik dukungan partai terhadap pencalonan petahana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Pilkada 2017.
Ahok tidak disukai oleh sejumlah kalangan di akar rumput dan sebagian kader muda partai beringin lantaran dianggap bukan sosok politikus yang loyal dan cenderung mendiskreditkan partai.
"Ahok itu kontra produktif dengan partai dan tren dia sudah menurun di masyarakat. Itu yang menjadi salah satu pertimbangannya," kata mantan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Samsul Hidayat saat dihubungi Senin (26/9).
Samsul bersama 10 kader senior lainnya sudah sejak jauh hari melayangkan pernyataan sikap agar partai mempertimbangkan kembali dukungannya untuk Ahok.
Selain Samsul, ada juga kader Golkar lain seperti Donny Siregar, Ricky Rachmadi, Indra J. Pilliang, Firdaus Gaffar, Musfihin Dahlan dan Ikhwan Habib Nasution yang turut serta dalam pernyataan sikap tersebut.
Namun, kata dia, elite Golkar di tingkat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) tetap memutuskan untuk bergabung dalam koalisi pengusung Ahok bersama PDI Perjuangan, Partai Hanura, dan NasDem.
Menurut Samsul, sikap tersebut mencerminkan bahwa mekanisme pencalonan Pilgub DKI di internal Partai Golkar sudah salah sejak awal. Fungsionaris partai di tingkat pusat disebut membuat keputusan tanpa menampung terlebih dulu suara di akar rumput.
"Elite yang di atas tidak mau mendengar suara dari bawah. Jadi bisa dikatakan suara Golkar sudah terpecah sejak awal," kata Samsul.
Samsul mengatakan, perpecahan suara di internal partai Golkar sampai saat ini masih terjadi. Terlebih, kata dia, PDI Perjuangan terkesan mendominasi koalisi usai menetapkan Ahok-Djarot sebagai pasangan calon yang diusung untuk DKI 1.
"Golkar tidak dianggap apa-apa. Terjadi perpecahan di pendukung sendiri karena PDI-P men-take over. Kalau ada yang bilang koalisi tidak pecah, itu berarti dia sedang jualan," kata Samsul.
Ahok tidak mendapat restu dari kader lantaran bukan sosok poltikus yang loyal, berkembangnya sentimen anti-Ahok, dan tren elektabilitasnya yang mulai menurun.
Perpecahan suara tak hanya merundung partai Golkar, internal PDI Perjuangan pun sempat dikejutkan oleh pengunduran diri Boy Benardi Sadikin yang mengaku berseberangan dengan keputusan partai mengusung Ahok di Pilkada 2017.
Putra dari mantan Gubernur DKI Ali Sadikin itu memilih mudur dari partai berlambang banteng moncong putih demi menghindari konflik di internal partai.
“Aspirasi saya tentang kepala daerah Pemprov DKI Jakarta berbeda dengan keputusan Ketua Umum DPP PDIP,” tulis Boy dalam surat pengunduran diri yang beredar di kalangan wartawan.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu DKI Jakarta PDIP Gembong Warsono memastikan, kondisi internal partainya tetap solid walaupun Boy Bernardi Sadikin mundur.
Menurutnya, seluruh kader tunduk pada keputusan yang telah diambil oleh Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri.
Tidak (pecah). Ketika partai sudah memutuskan, semua tunduk. Itu demokrasi ala PDIP," kata Gembong kepada CNNIndonesia.com, Jumat (23/9).(cnn)
Ahok tidak disukai oleh sejumlah kalangan di akar rumput dan sebagian kader muda partai beringin lantaran dianggap bukan sosok politikus yang loyal dan cenderung mendiskreditkan partai.
"Ahok itu kontra produktif dengan partai dan tren dia sudah menurun di masyarakat. Itu yang menjadi salah satu pertimbangannya," kata mantan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Samsul Hidayat saat dihubungi Senin (26/9).
Samsul bersama 10 kader senior lainnya sudah sejak jauh hari melayangkan pernyataan sikap agar partai mempertimbangkan kembali dukungannya untuk Ahok.
Selain Samsul, ada juga kader Golkar lain seperti Donny Siregar, Ricky Rachmadi, Indra J. Pilliang, Firdaus Gaffar, Musfihin Dahlan dan Ikhwan Habib Nasution yang turut serta dalam pernyataan sikap tersebut.
Namun, kata dia, elite Golkar di tingkat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) tetap memutuskan untuk bergabung dalam koalisi pengusung Ahok bersama PDI Perjuangan, Partai Hanura, dan NasDem.
Menurut Samsul, sikap tersebut mencerminkan bahwa mekanisme pencalonan Pilgub DKI di internal Partai Golkar sudah salah sejak awal. Fungsionaris partai di tingkat pusat disebut membuat keputusan tanpa menampung terlebih dulu suara di akar rumput.
"Elite yang di atas tidak mau mendengar suara dari bawah. Jadi bisa dikatakan suara Golkar sudah terpecah sejak awal," kata Samsul.
Samsul mengatakan, perpecahan suara di internal partai Golkar sampai saat ini masih terjadi. Terlebih, kata dia, PDI Perjuangan terkesan mendominasi koalisi usai menetapkan Ahok-Djarot sebagai pasangan calon yang diusung untuk DKI 1.
"Golkar tidak dianggap apa-apa. Terjadi perpecahan di pendukung sendiri karena PDI-P men-take over. Kalau ada yang bilang koalisi tidak pecah, itu berarti dia sedang jualan," kata Samsul.
Ahok tidak mendapat restu dari kader lantaran bukan sosok poltikus yang loyal, berkembangnya sentimen anti-Ahok, dan tren elektabilitasnya yang mulai menurun.
Perpecahan suara tak hanya merundung partai Golkar, internal PDI Perjuangan pun sempat dikejutkan oleh pengunduran diri Boy Benardi Sadikin yang mengaku berseberangan dengan keputusan partai mengusung Ahok di Pilkada 2017.
Putra dari mantan Gubernur DKI Ali Sadikin itu memilih mudur dari partai berlambang banteng moncong putih demi menghindari konflik di internal partai.
“Aspirasi saya tentang kepala daerah Pemprov DKI Jakarta berbeda dengan keputusan Ketua Umum DPP PDIP,” tulis Boy dalam surat pengunduran diri yang beredar di kalangan wartawan.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu DKI Jakarta PDIP Gembong Warsono memastikan, kondisi internal partainya tetap solid walaupun Boy Bernardi Sadikin mundur.
Menurutnya, seluruh kader tunduk pada keputusan yang telah diambil oleh Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri.
Tidak (pecah). Ketika partai sudah memutuskan, semua tunduk. Itu demokrasi ala PDIP," kata Gembong kepada CNNIndonesia.com, Jumat (23/9).(cnn)
Tag :
Pilgub DKI