Bagi Imam al-Ghazali, krisis yang
menimpa suatu negara dan masyarakat berakar dari kerusakan yang menimpa
para ulamanya. Karena itu, reformasi yang dilakukan Sang Imam dimulai
dengan memperbaiki para ulama. Selain itu dalam pandangannya, pemimpin
negara tidak boleh dipisah dari ulama. Ulama tidak boleh ditinggalkan,
sebagaimana agama tidak boleh ditinggalkan oleh negara. Ulama pun harus
memberikan kontribusinya dengan nasihat dan peringatan terutama
nasihat-nasihat akidah dan adab kepada pemimpin.
Usaha-usaha perbaikan politik yang dilakukan Imam al-Ghazali dengan menerapkan amar ma’ruf nahi munkar
kepada ulama sekaligus kepada penguasa. Tahapan usaha yang dilakukan
adalah, peringatan, kemudian nasehat. Imam al-Ghazali sangat
berkomitmen terhadap faktor perbaikan dan pembaharuan. Baginya, seorang
ulama atau ilmuwan semestinya melakukan reformasi konstruktif untuk
kebaikan politik di negara. Mereka tidak boleh diam, karena ini
merupakan bentuk dari amar ma’ruf nahi munkar.
Al-Ghazali pun telah menunjukkan dirinya
sebagai ulama yang memiliki pemikiran cemerlang, yang disegani dan
diterima oleh para pejabat negara serta para ulama lain pada zamannya.
Kepada pemimpin negara, ia memberi nasihat bagaimana cara menjalankan
sebuah sistem kenegaraan yang mempertimbangkan adab untuk kemaslahatan
bersama dengan pemimpin yang mempunyai integritas tinggi ditopang dengan
kekuatan syariah.
Pikiran-pikiran utama Imam al-Ghazali tentang politik dituangkan dalam buku al-Tibr al-Masbuk fi Nasihati al-Muluk.
Buku ini adalah kumpulan nasihat yang ditujukan kepada Sultan Muhammad
ibn Malik Syak dari dinasti Saljuk. Kandungan utama kumpulan surat-surat
nasihat itu dapat dikelompokkan ke dalam dua poin besar. Pertama, Imam al-Ghazali memprioritaskan pada kekuatan akidah tauhid. Kedua, berisi naihat-nasihat moral, keadilan keutamaan ilmu, dan ulama.
Dalam awal naskah nasihatnya, Imam
al-Ghazali memulai dengan kaidah-kaidah Iman. Dalam bab ini, disamping
menginginkan sultan tetap loyal pada keimanan yang benar, al-Ghazali
mengingatkan sultan bahwa kekuasaan tertinggi di dunia ini adalah al-Khalik
(Allah Swt). Dalam hal ini, tampaknya juga secara implisit al-Ghazali
memberi peringatan bahwa kekuasaan sultan hanyalah titipan Allah Swt.
Allah memberi amanah kepada Sultan untuk
menstabilkan negeri sesuai dengan syariat-Nya. Dalam sub-sub bab
Kitabnya, al-Ghazali menulis tentang Ke-Esaan-Nya; tiada satu pun yang
menyamai-Nya. Al-Ghazali mengingatkan tentang akhirat dan tugas Nabi
Muhammad Saw.
Peduli politik
Meskipun menulis banyak hal pada masalah
tashawuf dan berkonsentrasi di pesantrennya sendiri yang jauh dari Ibu
Kota Baghdad, Imam al-Ghazali tetap sangat peduli dengan jalannya
kekuasaan. Ia selalu menasehati para penguasa, agar selalu menegakkan
kalimah Tauhid. Nasihat Tauhid ini dimaksudkan untuk melindungi
pejabat-pejabat negara agar tidak terpengaruh dengan pemikiran Syi’ah
Batiniyah yang berkembang pada zaman itu. Kelompok Batiniyah ini
terkenal sebagai kelompok sesat sempalan yang radikal.
Nasihat-nasihat imam al-Ghazali itu
sangat berpengaruh terhadap kestabilan politik Sultan Seljuk, terutama
untuk meredam gerakan Syi’ah Batiniyah. Penguasa Nizam al-Muluk akhirnya
menyatakan bahwa Batiniyah adalah kelompok sesat. Menurut Sultan,
tujuan utama gerakan mereka sebenarnya adalah untuk menyingkirkan
Muslim Sunni (baca Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ih al-Batiniyah, hal 11).
Selanjutnya di pembahasan berikutnya
dalam kitab tersebut, Imam al-Ghazali memulai dengan penjelasan tentang
adab dan etika seorang pemimpin. Yang pertama-tama harus dipahami,
menurut Imam al-Ghazali adalah mengetahui hakikat kepemimpinan (al-wilayah) dan bahaya-bahayanya – jika tidak amanah.
Al-Wilayah (kekuasaan) adalah
kenikmatan yang diberikan oleh Allah Swt jika digunakan untuk
kemaslahatan umat manusia. Maka, apabila seseorang diberi kenikmatan
tersebut dalam hidupnya, akan tetapi tidak mengetahui hakikat nikmat
tersebut dan justru sebalikanya ia berbuat dzalim dengan kukuasaannya
serta mengikuti hawa nafsunya. Pemimpin yang demikian, kata Imam
al-Ghazali, telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah Swt.
Jika seseorang telah menempatkan
posisinya sebagai musuh Allah Swt sebagaiman tersebut di atas, maka
inilah titik bahaya seorang pemimpin. Rasulullah Saw pernah
mengingatkan, bahwa seorang pemimpin harus memperhatikan tiga perkara. Pertama, apabila rakyat meminta/membutuhkan belas kasih, maka sang khalifah wajib berbagi kasih kepada mereka. Kedua, apabila menghukumi mereka maka berbuatlah adil. Ketiga, laksanakan apa yang telah kamu katakan (tidak menyalahi janji) (Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk, hal. 4).
Peran Ulama
Karena itu, Imam al-Ghazali
mengingatkan, bahwa seorang Sultan atau Khalifah tidak boleh
meninggalkan ulama. Namun, seorang Sultan juga harus cermat, tidak
sembarang ulama yang harus diminta nasihat. Ulama Suu’ (ulama
jahat) justru menjerumuskan negara pada kerusakan. Cirinya, mereka
selalu memuji-muji raja secara tidak wajar, tujuan dakwahnya selalu
mengarah pada duniawi. Sebaliknya seorang ulama sejati (yang disebut
al-Ghazali sebagai “ulama al-akhirah”), sama sekali tidak
mengharapkan balasan uang dari tangan seorang raja. Ia memberi nasihat
ikhlas karena meinginginkan perbaikan dalam diri raja, negara dan
masyarakat.
Dari usaha-usaha nasihatnya kepada
khalifah terlihat bahwa memang, negara yang ideal adalah negara yang
orang-orangnya memiliki basis Islam yang kuat, sehingga negara diurus
dengan parameter syari’ah. Usaha al-Ghazali menuai hasil yang bagus,
kadaan negara stabil, syari’ah diamalkan, dan pemikiran-pemikiran
menyimpang tidak dihirau oleh warga negara, dan banyak kerajaan-kerajaan
kecil yang bergabung, mendukung Nizam Muluk.
Setelah seorang pemimpin memiliki
worldview Islam yang kokoh, mengetahui hakikat kekuasaan, maka hal yang
juga penting adalah, menghindari sifat takabbur. Karena, menurut
al-Ghazali, biasanya setiap pejabat pasti dicoba dengan rasa takabbur.
Takabbur seorang pemimping adalah penyakit hati yang sangat berbahaya,
karena akan mendorong pada perbuatan saling bermusuhan yang tentu
menarik pada pertumpahan darah (Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk, hal. 8).
Seorang raja haruslah rela berdekatan
dengan rakyat kecil, melepas baju kesombongan. Begitu pentingnya
memenuhi kebutuhan rakyat kecil, al-Ghazali bahkan berfatwa bahwa
mendatangi rakyat untuk memberi sesuap kebutuhannya adalah lebih baik
daripada menyibukkan diri beribadah sunnah. Mereka, rakyat kecil,
adalah lemah, maka harus deperlakukan dengan lembut dan penuh kasih. Ia
juga mengingatkan Sultan agar jangan sekali-kali menerima suap dari
rakyatnya dengan meninggalkan syariat.
Mengenai pemimpin ideal, Imam al-Ghazali
berpendapat, bahwa pemimpin harus memiliki syarat, diantaranya: mampu
berbuat adil di antara masyarakat (tidak nepotis), melindungi rakyat
dari kerusakan dan kriminalitas, dan tidak dzalim (tirani). Selain itu,
seorang pemimpin harus memiliki integritas, penguasaan dalam bidang ilmu
negara dan agama, agar dalam dalam menentukan kebijakan ia bisa
berijtihad dengan benar, sehat panca inderanya (mata, pendengaran, lisan
tidak terganggu yang dapat menghalangi ia menjalankan tugas), keempat,
anggota badannya normal tidak cacat yang dapat mengganggu tugas,
pemberani memiliki keahlian siasat perang, dan kemampuan intelektual
untuk mengatur kemaslahatan rakyat.
Ada dua hal penting yang ditekankan oleh
Imam al-Ghazali dalam nasihat-nasihatnya, yaitu penguatan akidah dan
adab. Dua hal ini tampaknya bagi al-Ghazali merupakan faktor utama
menjadi hamba Allah Swt yang sejati. Dengan istilah lain basicfaith
yang ingin dikokohkan kepada para pejabat negara adalah merupakan
pandangan dasar tentang iman. Karena asas bagi setiap perilaku manusia,
termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas
manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dengan
begitu aktifitasnya itu dapat direduksi kedalam pandangan hidup. Maka
seorang khalifah yang memiliki pandangan hidup Islam yang kokoh, maka
semua kebijakannya tak terlepas dari pola fikir Islam.
Sedangkan adab menjadi penting karena manusia yang beradab (Insan adabi)
adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada
Tuhan Yang Maha Benar, yang memahami dan menunaikan keadilah terhadap
dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya
meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan manusia.
Pemikiran tersebut lahir dikarenakan tantangan besar yang dihadapai imam
al-Ghazali pada masa itu. Tantangan perang pemikiran dan degradasi
moral. Maka perbaikannya pun dengan menawarkan konsep adab dan menjawab
tantangan pemikiran Syi’ah Batiniyah.
Kesimpulannya, Imam al-Ghazali — dalam
teori kenegaraannya — mengutamakan perpaduan moral dengan kekuasaan.
Negara dan pemerintahan dipimpin oleh manusia biasa, akan tetapi harus
memiliki moral yang baik. Demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat
secara universal, kebahagian dunia dan akhirat. Maka ia memandang, agama
dan negara tidak bisa dipisahkan; agama adalah pondasi, sedangkan
pemerintahan adalah penjaga. Wallahu a’lam. (***)(insists)
Oleh: Kholili Hasib
Tag :
Nasihat