Dari sebelas komisi, baru sembilan komisi yang telah melakukan proses pemilihan dan menetapkan pimpinan. Dua komisi lainnya yakni Komisi V dan Komisi XI menunda proses pemilihan lantaran Koalisi Merah Putih ingin mengubah susunan anggota di kedua komisi itu.
Sementara itu, dari enam anggota fraksi Koalisi Merah Putih di Parlemen, hanya Fraksi PPP yang tidak mendapatkan jatah kursi pimpinan. Sikap politik PPP yang belakangan mendukung pemerintah berdasarkan hasil Muktamar VIII di Surabaya, disinyalir menjadi penyebabnya.
Sisa Pemilu Presiden
Jika ditarik ke belakang, tak adanya jatah kursi pimpinan bagi Koalisi Indonesia Hebat tak bisa dilepaskan dari Pemilu Presiden 2014 dan calon presiden yang diusung koalisi ini, Joko Widodo. Sejak awal, Jokowi--yang kemudian memenangi pemilu dan menjadi presiden--menyatakan hanya hendak membangun koalisi ramping dan tanpa syarat.
Niat Jokowi itu, membuatnya tak berusaha menambah jumlah partai pengusung di Pemilu Presiden 2014, hingga saat terakhir. Koalisi Indonesia Hebat pun hanya beranggotakan empat partai, yakni PDI-P, Partai Nasional Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hati Nurani Rakyat.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, berpendapat pernyataan Jokowi itulah yang sekarang menjadi simalakama bagi Koalisi Indonesia Hebat. “Kalau Jokowi membangun koalisi besar, apa bedanya Jokowi dengan SBY? Disinilah simalakama Jokowi terjadi,” kata Hamdi kepada Kompas.com, Rabu.
Padahal, ada pameo yang sudah nyaris dianggap sebagai kebenaran, bahwa tak ada makan siang gratis di dunia politik. Koalisi Merah Putih tampaknya sejak dini menyadari bahwa mengalahkan Jokowi di Pemilu Presiden bukan perkara mudah.
Karenanya, para politisi dari partai-partai dalam Koalisi Merah Putih pun berkonsolidasi di parlemen, masih di periode DPR yang lalu. Mereka mengebut pembahasan dan pengesahan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
UU tersebut disinyalir menjadi pintu awal "kekalahan beruntun" Koalisi Indonesia Hebat di parlemen pada hari-hari ini. Tata Tertib DPR yang merujuk pada UU tersebut menyatakan pengajuan calon untuk segala pemilihan pimpinan di DPR dibuat menggunakan sistem paket. .
Entah karena menyadari "jebakan batman" dalam UU MD3 atau alasan lain, Jokowi pun berusaha menemui Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, Hamdi menduga ada penawaran dari Demokrat yang sulit dipenuhi Jokowi.
“Misalnya, Demokrat minta jatah lima kursi di parlemen, tapi Jokowi tidak bisa memenuhi permintaan itu karena dia terbentur dengan pernyataan awalnya soal koalisi ramping dan tanpa syarat itu,” kata Hamdi.
Posisi Partai Demokrat adalah kunci di parlemen, yang akan menentukan "arah angin" hasil akhir. Meski bukan lagi pemilik kursi terbanyak di parlemen, jumlah anggota DPR dari partai ini tetap tak bisa diabaikan.
Tibalah hari-hari pemilihan pimpinan DPR dan alat kelengkapannya. Demokrat mendapatkan satu kursi pimpinan DPR setelah bergabung dengan paket pimpinan yang diajukan Koalisi Merah Putih.
“KMP tentu sudah memperhitungkan bahwa mereka akan menang. Meski digugat ke MK sekalipun, (gugatan) akan kalah. Jadi pintu sudah tertutup, kecuali Jokowi buka transaksi yang sangat besar, kursi menteri misalnya,” kata Hamdi.
Setelah DPR memiliki struktur pimpinan, pekerjaan rumah lembaga terhormat itu selanjutnya adalah membentuk struktur pimpinan alat kelengkapan dewan. Lagi-lagi proses yang sama terjadi.
Upaya tarik-menarik yang dilakukan Koalisi Indonesia Hebat cukup alot. Mereka menolak menyerahkan nama anggota fraksi mereka untuk penempatan di alat kelengkapan.
Anggota Fraksi PDI-P Aria Bima mengakui bahwa koalisinya meminta alokasi 16 dari 47 kursi pimpinan alat kelengkapan. Basis alokasi itu adalah pembagian secara proporsional berdasarkan perolehan kursi di DPR.
Rupanya, negosiasi Aria menemui jalan buntu. Hingga Jokowi akhirnya mengumumkan komposisi kabinetnya, Minggu (26/10/2014) lalu, Koalisi Merah Putih tak bergeming dengan hanya memberikan jatah enam kursi pimpinan alat kelengkapan untuk seluruh fraksi Koalisi Indonesia Hebat.
“Sekarang politisi PDI-P masih ngotot minta alat kelengkapan, sekarang kamu mau kasih apa ke saya? Kecuali kamu kasih menteri (saya tambah alokasi kursi pimpinan alat kelengkapan). Nah menteri saja sudah terbentuk ya tentu tidak bisa,” tutur Hamdi memberikan ilustrasi.(kompas)
Tag :
nasional