Abadijaya News : Ada yang bilang tato
itu seni, tapi tidak jarang orang-orang mencibir. Karena tato bersifat
permanen, perlu berpikir ribuan kali sebelum memutuskan merajah tubuh.
Sebab, menghapusnya tak semudah menato diri.
Bagi Agva Angelita Octamoebata, 29, yang
kerap disapa Lita, tato adalah bagian dari hidupnya. Walau awalnya
hanya iseng, kini dirinya selalu berpikir ulang jika akan membuat tato.
’’Di sini kan kalau ada yang punya tato dan itu terlihat, bakal
dipandang mulai ujung kaki sampai kepala. Gitu terus bolak-balik,’’ ujar
perempuan yang bekerja di bidang perbankan tersebut.
Sebab, dia merelakan tato kesayangan
yang ada di tangan. Tato itu berbentuk bunga. ’’Karena tuntutan kerja,
tato itu harus dihapus,’’ ungkap perempuan kelahiran 24 November 1985
tersebut.
Ditato sakit, apalagi ketika dihapus,
demikian keluh Lita. Dia bercerita, penghapusan tato harus dilaser
sepuluh kali. Apalagi tatonya berwarna. ’’Hopeless deh. Susah hilang.
Kalaupun ngotot, ada bekas. Ada bagian yang tidak kembali seperti kulit
aslinya,’’ papar perempuan yang punya lima tato kecil-kecil di seluruh
badannya itu.
Dia melanjutkan, setiap pertemuan butuh
waktu 30 menit. Meski waktu treatment di klinik sebentar, dia
menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk bolak-balik klinik. ’’Udah
sakit, lama lagi. Total menghapus dan masa penyembuhan, aku perlu
sepuluh bulan,’’ ungkap Lita. Dia mengaku kapok menghapus tato.
Menulis inisial atau nama pacar biasanya
dianggap kebodohan dalam membuat tato. Hal tersebut pernah dialami Evi
Setiawan, 21, seorang pengajar di sebuah lembaga swasta. ’’Pesanku,
jangan sekali-sekali dilakukan. Sebab, menghapusnya lebih sakit daripada
putus, haha,’’ kenangnya.
Ketika lulus SMA, sang pacar saat itu
secara spontan mengajaknya tato bersama. Nama Evi ditato di tangannya,
tapi sang pacar menuntut Evi juga mau ditato namanya. ’’Udah aku tolak
mati-matian tetap dipaksa. Sempet ribut, tapi akhirnya aku yang ngalah.
Untungnya, bikin kecil di selipan jari,’’ ceritanya.
Hubungan cinta mereka ternyata tidak
permanen seperti tato yang mereka buat berdua. Hanya dua tahun, hubungan
itu kandas. Eva merasa tidak bijak membiarkan tato nama mantan terus
berada di jarinya. Selain tak mau disangka gagal move on, ini dilakukan
untuk menghargai babak baru perjalanan cintanya kelak.
Eva membawanya ke dokter untuk dilaser.
’’Awalnya, aku kira sakitnya biasa aja. Tapi, ternyata sakitnya ribuan
kali lebih sakit, kayak melepuh ditusuk. Ah entahlah, tulang rasanya
dibakar, ah itu rasanya ngeri banget,’’ kenangnya.
Beberapa kali sesi pun, hasilnya tidak
akan kembali seperti kulit semula. Hilang, tapi seperti melepuh. Eva
akhirnya menyerah karena tak tahan dengan sakitnya. Dia ingat betul kata
dokter yang menanganinya waktu itu. Kalau bikin tato, harus dipikir
ribuan kali.
’’Bikin tato jangan karena kasmaran atau gaya-gayaan. Pikirkan ribuan kali dampaknya. Sebab, kamu nggak tahu gimana hidupmu ke depan. Inget, tato akan nempel di badanmu seumur hidup,’’ tegasnya mewanti-wanti.(jpnn)
Tag :
Lifestyle