Abadijaya News: Sejumlah pimpinan gereja yang tergabung dalam Forum Oikumens Gereja-Gereja Papua, dengan tegas menolak rencana kedatangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghadiri perayaan natal nasional di Jayapura, Papua, pada 27 Desember 2014 mendatang.
Hal itu disampaikan Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua, Pdt. Dr. Benny Giay, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGBP) Pdt. Socratez Sofyan Yoman, dan Sinode Gereja Kristen Injili (GKI) Papua, Pdt. Selvi Titihalawa saat jumpa pers di kantor P3W, Padang Bulan, Kota Jayapura, Kamis (11/12).
Pdt. Benny Giay menyatakan bahwa pimpinan Gereja dengan tegas menolak kedatangan Presiden Jokowi yang akan merayakan Natal di tengah duka dan penderitaan rakyat Papua, secara khusus warga Paniai. Apalagi perayaan Natal itu akan menghabiskan dana puluhan miliar.
"Rakyat Papua sedang berduka karena pembantaian di Paniai, sedangkan Jokowi ingin merayakan Natal di Jayapura dengan habiskan dana puluhan miliar. Damai apa yang Jokowi mau bawa? Kami dengan tegas menolak kedatangan Jokowi di Papua," ungkapnya.
Dikatakannya, saat Jokowi akan datang ke
Papua, penculikan, pembunuhan dan pembantaian orang asli Papua masih
terus terjadi. Karena itu tidak ada artinya Presiden Indonesia merayakan
Natal di tanah Papua. Jokowi dinilai sama saja dengan presiden-presiden
terdahulu, datang saat Natal, tapi kekerasan jalan terus.
"Jadi yang kami minta Jokowi buat kebijakan yang benar-benar menyentuh hati orang Papua, membentuk tim untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Papua, bukan datang untuk membantai masyarakat Papua," katanya.
Pdt. Titihalawa menjelaskan alasan gereja menolak kedatangan Presiden Jokowi karena Negara belum mengambil tindakan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan aparat keamanan yang melakukan pembantaian terhadap lima warga sipil di Paniai.
"Jadi yang kami minta Jokowi buat kebijakan yang benar-benar menyentuh hati orang Papua, membentuk tim untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Papua, bukan datang untuk membantai masyarakat Papua," katanya.
Pdt. Titihalawa menjelaskan alasan gereja menolak kedatangan Presiden Jokowi karena Negara belum mengambil tindakan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan aparat keamanan yang melakukan pembantaian terhadap lima warga sipil di Paniai.
Presiden-presiden sebelumnya jika ada
kejadian luar biasa, terutama penembakan terhadap warga sipil selalu
memberikan pernyataan. Tetapi saat ini sama sekali tidak ada pernyataan
dari Presiden Jokowi.
"Semula kami tidak menolak kedatangan Presiden Jokowi, dan kami yakin dia akan melakukan banyak hal untuk Papua, tapi melihat situasi Paniai yang mencekam karena ada warga sipil dibantai, kami kira Jokowi tidak perlu datang merayakan Natal di Papua," bebernya.
Sementara itu, Pdt. Socratez Sofyan Yoman berpendapat, menciptakan konflik di tanah Papua, termasuk peristiwa pembantaiaan di Paniai adalah strategi aparat keamanan untuk menciptakan konflik menjelang kedatangan Jokowi.
"Semula kami tidak menolak kedatangan Presiden Jokowi, dan kami yakin dia akan melakukan banyak hal untuk Papua, tapi melihat situasi Paniai yang mencekam karena ada warga sipil dibantai, kami kira Jokowi tidak perlu datang merayakan Natal di Papua," bebernya.
Sementara itu, Pdt. Socratez Sofyan Yoman berpendapat, menciptakan konflik di tanah Papua, termasuk peristiwa pembantaiaan di Paniai adalah strategi aparat keamanan untuk menciptakan konflik menjelang kedatangan Jokowi.
"Ini biasa, kalau ada pejabat Negara mau
datang, harus ada konflik, agar aparat keamanan ditambah, kemudian dana
keamanan bisa mengalir ke aparat keamanan. Kami menyesalkan pendekatan
keamanan yang terus digunakan pemerintah," ucapnya.
"Peristiwa di Paniai jelas-jelas dilakukan
oleh aparat Negara, karena itu diharapkan tidak terus menuduh
Organisasi Papua Merdeka (OPM) tanpa bukti yang jelas, dan tuduhan itu
harus dibuktikan bukan dengan saling menuding atau menuduh sesuatu tanpa
bukti yang jelas," ujarnya.
Ditambahkannya, selama ini OPM berjuang
untuk Papua Merdeka, bukan berjuang untuk membunuh warga sipil. "Saya
kira Negara harus bertanggung jawab, dan merupakan pembohongan public
kalau ada OPM yang membunuh enam warga sipil," pungkasnya.(jpnn)
Tag :
Kabinet