Kebebasan Pers, Ide Sia-sia Menghina Puluhan Juta Orang Muslim

Abadijaya News: Pembantaian 12 orang di kantor media Prancis, Charlie Hebdo, pada Rabu, 7 Januari 2015 di Paris, dikecam sebagai serangan terhadap kebebasan berbicara. Tabloid itu menjadi sasaran, karena berbagai karikatur yang menyindir para pemimpin politik dan agama.

Jika kebebasan berbicara disertai dengan kebebasan bereaksi, kekerasan sebagai reaksi dari pernyataan provokatif bakal menjadi peristiwa biasa. Ya, dunia akan penuh kekacauan jika semua orang bebas berbicara dan bereaksi.

Bagaimana jika kebebasan berbicara dan bereaksi dibatasi?  Pertanyaan berikutnya, apa kerugian yang diderita jika semua orang saling bertukar senyum dalam keserasian, setelah mereka berusaha menjaga perasaan sesamanya?

Laman Daily Mail, Kamis, 8 Januari 2015, menulis pembunuhan berdarah dingin di Paris bukan sekedar cerita satu media atau satu negara, juga bukan hanya kebebasan pers. "Itu tentang hak semua orang untuk bebas berekspresi."

"Ini saatnya bangsa-bangsa Eropa bangun, untuk menyadari betapa seriusnya ancaman terhadap hak." Pernyataan senada juga dapat ditemukan pada beberapa media Barat lain, yang mengklaim membela nilai-nilai demokrasi.

Menurut Daily Mail, penyerangan Charlie Hebdo hanya bagian terbaru dari serangkaian babak yang panjang, kampanye terencana untuk mematikan sikap kritis dan diskusi tentang agama, bertujuan menempatkan Islam di atas agama lainnya.

Pendapat yang provokatif, bahkan tanpa dasar yang jelas. Apakah media-media Barat itu demokratis, saat bersikeras menempatkan berbagai prinsip mereka di atas norma-norma yang berlaku bagi bangsa atau kelompok masyarakat lain?

Kebebasan

Alice Blanc, seorang mahasiswa hukum di Paris, mengutip Voltaire yang menyebutkan "Saya tidak setuju dengan apa yang harus Anda katakan, tapi saya akan membela sampai mati hak Anda untuk mengatakannya."

Pernyataan Voltaire, penulis dan filsuf Prancis yang punya nama asli François-Marie Arouet, terkait dengan kondisi sosial di Zaman Renaisans di mana kehidupan masyarakat dalam tekanan. Hak-hak sipil terbelenggu, termasuk hak memperoleh keadilan.

Reformasi sosial yang terjadi saat itu, memang banyak mengkritik dogma gereja. Tapi tidak ada penolakan terhadap agama. Perubahan terjadi pada tataran intelektual melalui kritik, sekalipun sangat tajam.

"Apapun yang jurnalis atau media katakan, bahkan jika itu bukan apa yang mayoritas orang pikirkan, mereka tetap memiliki hak untuk mengatakannya tanpa merasa berada dalam bahaya. Ini kasusnya hari ini," ujar Alice.

Philadelphia Inquirer adalah salah satu media berita Amerika Serikat (AS), yang memutuskan untuk tidak merilis berbagai karikatur provokatif. Editor Philadelphia Inquirer Bill Marimow, mengatakan pemuatan karikatur bukan sebuah panggilan.

Kebebasan berekspresi dan kritik menurutnya, tidak perlu disampaikan dengan menghina. "Ide yang sia-sia untuk menghina puluhan juta orang Muslim, daripada menggambarkan sesuatu dalam kata-kata," kata Marimow.(vv)


pageads
Tag : Syariah

Related Post: