Pada pemberian keterangan perdananya di Kejaksaan Agung terkait skandal Papa minta saham, mantan Ketua DPR Setya Novanto menyangkal rekaman pembicaraan yang diserahkan mantan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamssoeddin adalah suaranya.
Namun, Novanto membenarkan peristiwa tersebut terjadi pada Juni 2015 di Hotel Ritz Carlton, Jakarta.
Kepada tim penyelidik, sebut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah, Novanto berdalih pertemuannya dengan Maroef dan pengusaha Riza Chalid di hotel bintang lima itu terjadi tanpa direncanakan.
"Pertemuan itu dibenarkan. Mereka bertiga dengan alasan bahwa memang kebetulan Setya Novanto ada rapat perkawinan anaknya, sekalian melakukan pertemuan," kata Arminsyah di Kejaksaan Agung, Kebayoran Baru, Jakarta, Kamis (4/2/2016).
Menanggapi pernyataan Novanto, Jampidsus tidak mau mempermasalahkannya.
"Dia (Novanto) menyangkal bukan suaranya dia. itu hak dia. kami akan mencari bukti yang lain," kata Arminsyah.
Arminsyah menyebutkan setidaknya ada dua hal yang dapat membuktikan rekaman suara tersebut merupakan suara Novanto.
Pertama adalah kesaksian dari Maroef selaku saksi dan orang yang merekam.
Selanjutnya, pendapat dari ahli suara Institut Teknologi Bandung yang menyebutkan suara dalam rekaman identik dengan suara orang yang diduga terlibat di dalamnya.
"Rekaman yang sudah dinyatakan (Novanto) diragukan kebenarannya tapi ke depan kita berpegang pada keterangan Maroef dan akurasi suaranya dari ahli," katanya.
Kasus yang dikenal dengan Skandal Papa minta saham mencuat saat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan mantan Ketua DPR RI Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) pada Senin (16/11/2015).
Pelaporan itu dilakukan karena Sudirman mengetahui Setya mencatut nama presiden dan wakil presiden saat bertemu mantan Direktur Utama PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin bersama pengusaha Muhammad Riza Chalid dari sebuah rekaman pembicaraan.
Dalam pertemuan tersebut, terindikasi politikus Partai Golkar itu mencatut nama presiden guna meminta sejumlah saham PLTA Urumka, Papua yang tengah dibangun PT FI dan berjanji memuluskan negosiasi perpanjangan kontrak karya perusahaan tambang asal negeri Paman Sam itu.
Kejaksaan melihat ada dugaan permufakatan jahat dalam pembicaraan tersebut yang dapat dijerat dengan undang-undang tindak pidana korupsi.(tribun)
Namun, Novanto membenarkan peristiwa tersebut terjadi pada Juni 2015 di Hotel Ritz Carlton, Jakarta.
Kepada tim penyelidik, sebut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah, Novanto berdalih pertemuannya dengan Maroef dan pengusaha Riza Chalid di hotel bintang lima itu terjadi tanpa direncanakan.
"Pertemuan itu dibenarkan. Mereka bertiga dengan alasan bahwa memang kebetulan Setya Novanto ada rapat perkawinan anaknya, sekalian melakukan pertemuan," kata Arminsyah di Kejaksaan Agung, Kebayoran Baru, Jakarta, Kamis (4/2/2016).
Menanggapi pernyataan Novanto, Jampidsus tidak mau mempermasalahkannya.
"Dia (Novanto) menyangkal bukan suaranya dia. itu hak dia. kami akan mencari bukti yang lain," kata Arminsyah.
Arminsyah menyebutkan setidaknya ada dua hal yang dapat membuktikan rekaman suara tersebut merupakan suara Novanto.
Pertama adalah kesaksian dari Maroef selaku saksi dan orang yang merekam.
Selanjutnya, pendapat dari ahli suara Institut Teknologi Bandung yang menyebutkan suara dalam rekaman identik dengan suara orang yang diduga terlibat di dalamnya.
"Rekaman yang sudah dinyatakan (Novanto) diragukan kebenarannya tapi ke depan kita berpegang pada keterangan Maroef dan akurasi suaranya dari ahli," katanya.
Kasus yang dikenal dengan Skandal Papa minta saham mencuat saat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan mantan Ketua DPR RI Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) pada Senin (16/11/2015).
Pelaporan itu dilakukan karena Sudirman mengetahui Setya mencatut nama presiden dan wakil presiden saat bertemu mantan Direktur Utama PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin bersama pengusaha Muhammad Riza Chalid dari sebuah rekaman pembicaraan.
Dalam pertemuan tersebut, terindikasi politikus Partai Golkar itu mencatut nama presiden guna meminta sejumlah saham PLTA Urumka, Papua yang tengah dibangun PT FI dan berjanji memuluskan negosiasi perpanjangan kontrak karya perusahaan tambang asal negeri Paman Sam itu.
Kejaksaan melihat ada dugaan permufakatan jahat dalam pembicaraan tersebut yang dapat dijerat dengan undang-undang tindak pidana korupsi.(tribun)
Tag :
Parlemen