Dulu kerajaan kerajaan islam di pulau jawa khususnya Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta menerapkan hukum Islam dalam hal pidana dan perdata. Mereka menjalankan itu semua dengan berpedoman kepada kitab kitab fiqh yang masyhur di kenal di kalangan kaum muslim dunia. Pengadilan di jalankan dengan sederhana tetapi konsisten oleh kerajaan.
Tetapi oleh penjajah belanda hal ini di anggap sebuah ancaman, karena penjajah belanda tidak mau umat islam dekat dengan ajaran agamanya yang bisa menyalakan api jihad di dada dan perlawanan terhadap penjajahan. Setelah berhasil meredam perlawanan Pangeran Diponegoro, Akhirnya penjajah belanda pada tahun 1831 mengeluarkan sebuah resolusi untuk menghapuskan peradilan yang berdasarkan hukum islam ini dan menggantinya dengan hukum buatan penjajah belanda.
Kini di era reformasi, setiap daerah mendapatkan hak otonomi untuk mengatur dan mengelola daerahnya sendiri. Lahirlah peraturan peraturan yang bernafaskan keagamaan sesuai agama mayoritas di daerah tersebut. Di bali mayoritas hindu lahirlah perda perda bernafaskan hindu, di papua mayoritas kristen lahir juga perda perda beraroma kristen. Di daerah lain yang mayoritas penduduknya islam pemerintah daerahnya juga banyak menelurkan perda perda yang sejalan dengan ajaran agama islam.
Tetapi sekarang di era (re)polusi mental, perda perda yang bernafaskan keagamaan penduduk mayoritasnya khususnya agama islam di anggap sebagai peraturan yang intoleran yang dapat menghambat iklim investasi yang katanya juga berakibat lesunya pertumbuhan ekonomi. Rencananya akan di hapus oleh pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di republik ini.
Kalau dulu penjajah menghapuskan hukum islam karena takut umat islam jadi dekat dengan ajaran agamanya, yang akhirnya menimbulkan semangat jihad untuk mengusir penjajah kafir dari negerinya. Sekarang pemerintah pusat coba membodohi rakyatnya dengan alasan tidak toleran terhadap umat agama lain yang akan berinvestasi di negeri ini. Akhirnya perda perda syariah Islam mau di hapuskan.(Susiyanto/SM)
Tetapi oleh penjajah belanda hal ini di anggap sebuah ancaman, karena penjajah belanda tidak mau umat islam dekat dengan ajaran agamanya yang bisa menyalakan api jihad di dada dan perlawanan terhadap penjajahan. Setelah berhasil meredam perlawanan Pangeran Diponegoro, Akhirnya penjajah belanda pada tahun 1831 mengeluarkan sebuah resolusi untuk menghapuskan peradilan yang berdasarkan hukum islam ini dan menggantinya dengan hukum buatan penjajah belanda.
Kini di era reformasi, setiap daerah mendapatkan hak otonomi untuk mengatur dan mengelola daerahnya sendiri. Lahirlah peraturan peraturan yang bernafaskan keagamaan sesuai agama mayoritas di daerah tersebut. Di bali mayoritas hindu lahirlah perda perda bernafaskan hindu, di papua mayoritas kristen lahir juga perda perda beraroma kristen. Di daerah lain yang mayoritas penduduknya islam pemerintah daerahnya juga banyak menelurkan perda perda yang sejalan dengan ajaran agama islam.
Tetapi sekarang di era (re)polusi mental, perda perda yang bernafaskan keagamaan penduduk mayoritasnya khususnya agama islam di anggap sebagai peraturan yang intoleran yang dapat menghambat iklim investasi yang katanya juga berakibat lesunya pertumbuhan ekonomi. Rencananya akan di hapus oleh pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di republik ini.
Kalau dulu penjajah menghapuskan hukum islam karena takut umat islam jadi dekat dengan ajaran agamanya, yang akhirnya menimbulkan semangat jihad untuk mengusir penjajah kafir dari negerinya. Sekarang pemerintah pusat coba membodohi rakyatnya dengan alasan tidak toleran terhadap umat agama lain yang akan berinvestasi di negeri ini. Akhirnya perda perda syariah Islam mau di hapuskan.(Susiyanto/SM)
Tag :
Syariah