"Saya Adalah Saksi Sejarah Yang Hidup Pada Zaman Itu, Betapa Kejamnya PKI"

Kejahatan yang dilakukan oleh PKI takkan bisa dilupakan oleh seluruh bangsa Indonesia, apalagi dihapuskan begitu saja, meskipun ada pihak tertentu berusaha memutarbalikkan sejarah mengenai komunis di Indonesia. Pem
Jakarta, Pelita

Kejahatan yang dilakukan oleh PKI takkan bisa dilupakan oleh seluruh bangsa Indonesia, apalagi dihapuskan begitu saja, meskipun ada pihak tertentu berusaha memutarbalikkan sejarah mengenai komunis di Indonesia. Pemerintah yang cerdas dan bijaksana harus mengantisipasi kemungkinan kembali suburnya komunis.

"Saya Adalah Saksi Sejarah Yang Hidup Pada Zaman Itu, Betapa Kejamnya PKI"

Demikian antara lain benang merah pendapat yang diungkapkan sejarahwan Anhar Gonggong dan Asisten Ketua Umum Majelis Pengurus Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Bismar Siregar kepada Pelita di Jakarta, Selasa (1/10), berkaitan dengan upacara "Mengenang Tragedi Nasional Akibat Pengkhianatan Terhadap Pancasila", dan atas penerbitan buku "Aku Bangga Jadi Anak PKI" karya dr Ribka Tjiptaning Proletariyati, kemarin. Dalam buku yang ditulisnya itu dia mengatakan bahwa PKI bukanlah pihak yang bersalah dalam peristiwa itu.

Menurut Bismar yang juga sebagai Majelis Pakar Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sejarah tidak bisa diputarbalikkan, apalagi dinafikan. Partai Komunis Indonesia (PKI) terlibat dalam Gerakan 30 September (G-30-S) dengan segala kekejamannya.

"Saya adalah saksi sejarah yang hidup pada zaman itu, merasakan betul betapa kekejaman PKI itu tidak bisa dimaafkan oleh anak cucu bangsa Indonesia," tuturnya.

Dia mengaku sedih jika ada upaya menghapus citra PKI sebagai pengkhianat bangsa, yang menguasai kehidupan masyarakat melalui paham atheis. "Karena itu saya mengatakan, kalau ada orang yang mengatakan bangga sebagai anak PKI, maka berarti dia adalah anak setan. Karena PKI adalah setan yang menguasai kelompok masyarakat miskin," tegas mantan Hakim Agung itu lagi.

Sehubungan dengan itu, lanjut Bismar, kalangan petani, buruh dan nelayan jangan diabaikan. Pemerintahan yang cerdas dan bijaksana harus memberikan prioritas utama dalam upaya pengangkatan harakat, derajat, martabat, dan kesejahteraan mereka, karena kelompok inilah yang menjadi "sarang" paham komunis untuk tumbuh subur di Indonesia. "Pada masa lalu PKI adalah soko guru bagi petani. Mereka tampil sebagai pembela dan menjajikan tanah untuk petani," tandasnya.

Bismar mengaku sangat khawatir bahwa gerakan faham komunis itu akan dengan mudah berkembang dalam waktu dekat ini, mengingat sistem pemerintahan saat ini sangat lemah, mudah terpengaruh dan ditekan oleh pihak-pihak tertentu baik di dalam maupun dari luar negeri.

"Kekhawatiran saya menjadi semakin besar ketika melihat kondisi parpol-parpol yang hanya mementingkan kekuasaan dan sangat rentan perpecahan," tandasnya.

Mestinya parpol-parpol yang ada semakin memperkuat diri, bukan malah terpecah-belah, yang berakibat semakin lemahnya kekuatan untuk memperkuat kondisi kehidupan bangsa dan negara. "Kemiskinan, ketidakpastian dan kelemahan sistem pemerintahan dan parpol-parpol memberikan peluang besar bagi komunis untuk menguasai masyarakat," tegasnya.

Tergantung posisi

Anhar Gonggong berpendapat bagaimana pun sejarah diputarbalikkan, tetap tidak akan terputar. Dia lantas menegaskan, biarkan masyarakat sendiri yang menilai nantinya apakah PKI itu bersalah atau tidak.

Dia menambahkan, penilaian seperti itu tergantung dari posisi mana dia melihatnya. Apabila yang menilai adalah anggota atau orang-orang dekat PKI, maka tentu mereka akan mengatakan bahwa PKI tidak bersalah. Tetapi sebaliknya, jika yang melihat adalah para korban PKI, maka tentu mereka tetap berpendapat bahwa PKI terlibat.

"Itu kan tergantung dari posisi mana dia melihatnya. Coba kalau sekarang kita katakan bahwa Oemar Dani itu bukan PKI, apa masyarakat akan percaya?" katanya.

Dia mengakui, saat ini memang ada upaya kelompok tertentu untuk memutarbalikkan sejarah. Dicontohkannya, hal itu bisa dilihat dari tulisan karya Pramoedya Ananta Toer. Anhar berpandangan, usaha pemutarbalikkan sejarah itu mempunyai tujuan politik. Mereka itu, katanya, berusaha mengambil keuntungan dari situasi politik sekarang ini.

"Bagaimana pun kita meyakinkan bahwa dia (Pramoedya-Red) itu bukan PKI, ya susah," katanya.

Namun demikian, kata Anhar, dari segi demokrasi, hal itu boleh-boleh saja asalkan tetap berdasarkan pada aturan-aturan yang ada. Dan kalau ingin berusaha membuktikan bahwa apa yang diyakini masyarakat tentang keterlibatan PKI itu tidak benar, maka harus dengan disertai bukti-bukti yang nyata dan benar.

"Kita tetap memiliki aturan-aturan yang benar, dan biarkan masyarakat yang menilainya," tegas Anhar.

Anhar juga mengharapkan, sebaiknya orang-orang yang juga pernah menjadi korban PKI angkat bicara dan menceritakan apa yang mereka alami. Ia menyebutkan, orang-orang seperti Nurcholish Madjid dan Gunawan Muhammad mau berbicara.

"Mereka itu melihat, mengalami, bahkan digebukin pada peristiwa saat itu. Untuk itu, mereka juga perlu bicara," ujar Anhar.

Matinya demokrasi

Para anggota PKI atau pun orang-orang dekatnya saat ini merasa bahwa mereka diasingkan di negaranya sendiri, sehingga kebebasan mereka untuk berdemokrasi seolah-olah sudah mati. Dr Ribka Tjiptaning Proletariyati mengungkapkan hal itu dalam peluncuran bukunya berjudul "Aku Bangga Jadi Anak PKI" di Jakarta, kemarin.

Dia meyakini, demokrasi di negara kita saat ini sudah koma bahkan mati, sehingga mengantarkan dirinya dalam proses penyembuhan demokratisasi dengan ikut bergabung dalam arena pertarungan politik yang menurutnya, arena tersebut terkadang kotor, busuk, penuh kemunafikan dan menjurus pada kekejaman.

"Aku pantang mundur, oleh karena itu aku masuk dalam organisasi kemasyarakatan dan partai politik meskipun partai politik yang saat ini saya ikuti yaitu PDIP sudah kehilangan eksistensinya, sudah kehilangan semangatnya, dan sudah kehilangan warnanya," tegas anak salah seorang anggota PKI RM Soeripto Tjondrosaputro ini.

Dia mengingatkan, sejarah hitam tahun 1965 merupakan awal dari sebuah matinya demokrasi. Sebab, katanya, mengapa bangsa yang agamis dan beradab ini justru seenaknya sendiri membantai jutaan manusia dan tanpa proses pengadilan yang jelas langsung menahan orang seenaknya.

Dia mengatakan para anggota PKI maupun keluarganya sampai saat ini masih dianggap sebagai kelas nomor dua secara politik. Untuk itu, dirinya mengajak kepada seluruh anggota PKI maupun keluarganya agar menghilangkan rasa takut, minder, dan perasaan berdosa yang selama ini menghantui.

"Mari kita bangkit, mengungkapkan sebuah kebenaran, menguak tabir kematian, lalu membuat dan membina kehidupan baru," tegas Ribka.

Saksi kekejaman PKI

Sementara itu, sedikitnya 70 orang saksi mata berikut korban keganasan PKI tahun 1948 dan 1965, mengadakan pertemuan di Hotel Simpang Natour Surabaya, Jawa Timur, kemarin. Satu demi satu di antara mereka menceritakan bagaimana sanak saudaranya dibantai PKI, dalam acara yang diprakarsai Centre for Indonesia Comunism Studies (CICS). Mayoritas dari mereka menyatakan trauma akibat tragedi pembantaian itu dan mengingatkan kepada generasi muda untuk mewaspadai dan menjaga agar PKI jangan sampai bangkit kembali di Bumi Pertiwi Indonesia.

Isro' salah seorang keluarga korban dengan terbata-bata menceriterakan, setiap kali bulan September ingatannya selalu melayang ke tahun 1965. Ketika itu usianya baru 10 tahun pergi bersama sang ayah ke sawah. Namun dalam perjalanan keduanya dicegat segerombolan yang memakai atribut janur kuning sambil membawa senjata tajam berupa parang dan pedang. Pemandangan mengerikan terjadi di depan sang anak, ayahnya diseret ke tengah sawah dan dipukuli beramai-ramai tanpa mengetahui apa kesalahannya.

Ikhwal Isro' sendiri karena merasa takut langsung lari pulang dan tak tahu lagi bagaimana nasib sang ayah.

Sampai tujuh hari, Isro' tidak menjumpai ayahnya pulang, Baru pada hari ke delapan, orang-orang kampung mendapati tubuh ayah Isro' tergeletak di sawah dengan kondisi mengenaskan. Tubuhnya tercerai berai dan seperti habis dibakar. "Tubuh bapak saya hanya bisa dipunguti dan dimasukkan ke dalam kaleng. Kalau melihat ciri-cirinya seperti bekas dibakar dan dimakan anjing," tuturnya.

Kenangan pahit itu seperti tak bisa hilang dari ingatan pria 53 tahun ini. Akibatnya, setiap kali mendengar isu bahwa komunisme akan bangkit lagi, Isro' mengaku sangat sedih dan terpukul.

Hal yang sama juga dirasakan Maslukin, warga Blitar Selatan, korban keganasan PKI tahun 1967. Saat itu bulan September dan bertepatan dengan bulan Ramadhan. Setiap malam, rumah Maslukin selalu digunakan untuk sholat Tarawih. "Waktu itu masih awal-awal bulan puasa. Sehabis sholat Tarawih, pintu rumah saya digedor-gedor sejumlah orang hingga jebol. Saya dan bapak diborgol. Rumah diobrak-abrik," kenangnya.

Belum puas, tujuh orang yang berpakaian pamong dan militer itu menyeret Maksum, ayah Maslukin dan menembaknya sebanyak dua kali. Satu peluru tembus di dada hingga punggung, dan satu lagi bersarang di dada. "Dengan sekuat tenaga, saya lari, melompat pagar, dan mengambil kentongan milik tetangga. Saya pukul kentongan itu kuat-kuat hingga para tetangga datang," papar Maslukin yang saat itu berusia 22 tahun.

Jauh sebelum kejadian yang dialami M Isro' dan Maslukin, di Magetan juga terjadi kekejaman PKI di bawah pimpinan Muso. Salah satu korbannya adalah Mahfud Effendi, salah satu anggota TNI AD yang tinggal di Kecamatan Takeran. "Saya lupa harinya, tapi saat itu adalah bulan September 1948. Ketika itu saya sedang melintas di depan kantor kecamatan dan langsung ditangkap pasukan FDR (Front Demokrasi Rakyat)," ceritanya.

Lantaran saat itu Madiun dan Magetan di bawah kekuasaan PKI, Mahfud tak berani melawan. Dia hanya bisa menurut disiksa dan ditahan FDR. Hanya lantaran salah satu anggota FDR itu teman sekolahnya, Mahfud bisa lolos dari siksaan lebih lanjut dan keluar dari kamp FDR. "Boleh dibilang, nyawa saya ini nyawa saringan," katanya. Dan ketika kembali tiga hari kemudian, Mahfud mendapati teman-temannya sudah menghilang. Dia mendapat informasi bahwa sebanyak 27 warga Takeran dikubur hidup-hidup dalam satu sumur buatan. "Mereka itu adalah masyarakat, pemuda-pemuda Islam dan perangkat desa," ceritanya.

Masih banyak cerita para korban keganasan PKI yang kemarin dituturkan secara singkat. Sayang, masing-masing hanya diberi waktu tujuh menit untuk menuturkan pengalamannya masing-masing. Dan di akhir penuturan, mereka selalu berseru untuk menghadang setiap gejala kebangkitan komunisme dalam bentuk apa pun. "Kalian pemuda-pemuda saat ini. Jangan sok tahu dan membela komunisme. Kami yang telah merasakan keganasan mereka. Jangan sampai kalian menyesal jika komunisme bangkit dan berkembang di mana-mana," teriak Mahfud berapi-api.(harianpelita)
pageads