Jokowi Menaikkan Harga BBM "Selangit"

Abadijaya News : Keputusan pemerintah Presiden Joko Widodo menaikkan harga premium Rp 8.500,- per liter dan solar Rp 7.500,- per liter dianggap terlalu tinggi. Momentum ini tidak tepat di saat harga minyak mentah dunia turun dan pertimbangan presiden lebih menonjolkan sosoknya sebagai pengusaha bukan negarawan.

Asumsi harga minyak bumi dalam APBN perubahan 2014 sebesr 105/barel dolar AS. Harga pasar yang berlaku per November di bawah 102 dolar AS per barel. “Karena harga minyak dunia sedang turun, di bawah asumsi dasar dalam APBN, kenaikan harga BBM seharusnya tidak sedrastis itu jumlahnya,” kata ekonomi Prof Dr Edy Suandi Hamid saat dihubungi “PRLM” Senin (17/11/2014) malam.

Menurut dia pengalaman pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerapkan pendekatan kenaikan bertahap sehingga m asyarakat tidak terlalu sok atas kenaikan BBM. “Presiden Joko Widodo bisa menerapkan kenaikan harga BBM secara bertahap, katakanlah setiap enam bulan.

Dengan kenaikan harga sangat tinggi dalam satu waktu, ini menimnbulkan gejolak pasar, sebaliknya kenaikan bertahap hampir bisa dipastikan tidak meninbulkan gejolak di pasar. Dengan situasi seperti sekarang, dampak inflatornya pasti terjadi cukup tinggi. Apalagi belakangan ini harga-harga di pasar juga sudah naik,” kata dia.

Guru besar ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) tersebut meyatakan pendekatan gestur bahasa Presiden dalam mengumumkan kenaikan BBM juga patut dikritisi. Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut terlalu memainkan bahasa yang bertendensi eufimistik. Dengan kata-kata kenaikan harga dengan bahasa pengalihan subsidi BBM untuk kegiatan produktif. “Ini justri kredit negatif buat Presiden,” kata dia.

Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI itu menyatakan, “Presiden seharusnya tetap menunjukkan karakternya yang jujur dan terbuka tanpa tedeng aling. Tapi tadi menggunakan bahasa pemanis eufimisme. Beliau seolah-olah ingin meringankan beban masyarakat dengan terminologi bahasa, padahal ini jelas-jelas harga BBM naik,” kata dia.

Dengan kebijakan kenaikan harga BBM tersebut, mantan rektor UII tersebut mengharapkan kementerian terkait mengantisipasi gejolak pasca kenaikan harga tersebut dengan mengintensifkan kelancaran arus barang, terutama barang konsumsi, supaya tidak menimbulkan kelangkaan yang bisa membuat harga menjadi lebih mahal lagi.

Pengamat ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY Ahmad Ma'ruf, SE, MSi menyatakan, “Presiden Joko Widodo lebih mengedepankan cara pandang pengusaha bukan negarawan dalam mengambil keputusan kenaikan harga BBM.”

Dia sependapat dengan Edy Suandi Hamid bahwa momentum kenaikan BBM tidak tepat, di saat harga minyak dunia turun drastis dan dibawah asumsi APBN. “Alasan kenaikan BBM sebagai stratregi mengalihkan subsidi ke sektor produktif, itu alasan yang belur jelas, sulit dipahami publik.”

Menurut dia dampaknya bagi daerah berkaitan dengan perhitungan UMK/UMP. Asumsi upah buruh harus diubah menyesuaikan kenaikan harga BBM yang relative tinggi. “Saya kira kenaikan harga BBM yang tinggi juga memicu frustasi dan banyak demo mahasiswa maupun buruh merespin untuk menolak kebijakan tersebut,” kata dia.(pr)

pageads
Tag : Kabinet

Related Post: