Menitikkan Air Mata, Aku Tulis Surat Cinta Untuk Murabbi

Untuk :

Uni yang selalu tersenyum
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Pertama kali mendapat nomor teleponmu. Ada kecemasan di dalam hatiku. Mendengar semua tentang dirimu, membuatku minder dan bertanya-tanya dalam hati, pantaskah aku menjadi mutarobbimu? Dengan profilmu yang begitu, terbayang olehku dirimu adalah seorang muslimah yang sangat tangguh dan jauh berbeda denganku, membuatku takut tak bisa dekat denganmu.

Hari pertama untuk bertemu denganmu adalah hari yang cukup sulit untuk ku lalui. Di siang hari yang panas bersama seorang teman berjalan mencari alamat rumahmu seperti yang tertera pada secarik kertas. Keluar masuk gang dengan perasaan gamang. Dikira sudah benar ternyata malah nyasar. Untungnya nggak ada anjing yang ngejar.


Kaki mulai sakit ditambah pula kondisi badan yang kurang fit. Sungguh terasa lelah, tapi semangat tak boleh kalah. Memang benar kata pepatah ”Malu bertanya sesat dijalan.” Agaknya pepatah ini tak boleh dilupakan. Tapi kalau banyak bertanya, gimana ya? Bakalan jalan-jalan dong…

Akhirnya ketemu juga. Begitu melihatmu, pikiranku semula berubah. Dirimu – Uni – dengan jilbab lebar dan senyum yang lebar pula membuat ketakutanku memudar. Panas yang tadinya menjalar berubah sejuk seperti disiram air segar. Sambutanmu yang hangat membuatku tambah semangat. Nggak sia-sia berpanas-panas ria, akhirnya ketemu juga dengan Uni yang baik sedemikian rupa.
Minggu demi minggu pun dilalui dengan bahagia. Mungkin memang tak selamanya suka karena yang namanya kehidupan selalu berputar seperti roda.

Pernah juga kau sedikit marah karena kami telat datangnya. Satu dua kali mungkin kau bersabar saja tapi kalau hampir tiap minggu tak jua berubah siapa pun ku kira pasti tak sabar juga. Mana saat itu Ramadhan pula, kau kan harus mempersiapkan bukaan juga untuk keluarga. Kami memang bersalah. Aku merasa berdosa rasanya membuat wajahmu tertekuk, takut kau jadi seperti kompor yang meleduk. Tapi itu bukan dirimu, karena kau uni yang selalu tersenyum lebar. Sebentar saja kekesalanmu memudar. Ah, Uni…betapa kau begitu sabar!

Dirimu memang tak banyak bicara, tapi sekali bicara kata-katamu menyentuh. Setidaknya itulah yang terjadi padaku. Dirimu selalu memberi nasihat, kadang malah hanya tersirat lewat obrolan biasa, tapi itu bisa membakar semangat.

Di mataku, dirimu adalah seorang perempuan yang menawan. Hidup dalam kesederhanaan walaupun istri anggota dewan. Menurutku kau memang pantas jadi panutan. Perempuan yang mengabdikan diri untuk dakwah dan keluarga seutuhnya. Aku, bisa nggak ya seperti itu?

Dirimu adalah Uni yang selalu mendengar cerita mutarobbinya. Bahkan turut tertawa jika ada cerita jenaka. Memberikan tanggapan jika memang dibutuhkan, menjawab pertanyaan, bahkan jika perlu di diskusikan. Uni tahu tidak, hal yang paling ku suka dari semua yang kusuka darimu adalah hafalan Al-Qur’anmu yang Subhanallah. Kau tak hanya mendengar kami muraja’ah, tapi kau juga meminta kami untuk mendengarmu muraja’ah.

Semangat menghafalmu, membuatku malu. Aku saja yang tak sesibuk dirimu seperti tidak punya waktu untuk menambah hafalanku. Sungguh Uni, aku benar-benar malu. Semua itu membuatku jadi tambah semangat untuk menambah hafalan walaupun sampai kini nggak kelar-kelar. Ha…ha…ha…
Saat Ramadhan tiba kita buat target dan ’peraturan’ harus khatam membaca Al-Qur’an minimal sekali selama Ramadhan. Yang tidak berhasil akan mendapat ’hukuman’.

Semua jadi terpacu untuk bisa khatam. Aku harus bisa, Uni saja yang ibu-ibu bisa dua kali khatam, apalagi aku? Tapi kenyataannya, itu tidak bisa kuwujudkan. Lagi-lagi aku tertawa. Kondisiku sama saja dengan teman-teman. Apa boleh buat, harus menerima hukuman.

Uni berjilbab lebar, dengan senyum yang lebar tak pernah lupa menanyakan kabar. Setiap bertemu ada saja tausiyah segar. Jadi begitu pulang ada oleh-oleh yang dibawa. Yang menyenangkan bukan itu saja, kita juga mencoba-coba resep masakan. Semua harus ikut serta tak boleh hanya menonton apalagi menunggu untuk makan saja. Kita begitu bersemangat, apalagi saat menikmati makanan yang ternyata memang lezat.

Pernah ada perombakan, kemungkinan akan  dipindahkan pada murobbi lain. Ada kecemasan di hati, takut nanti tak bersamamu lagi. Tapi, ternyata tidak…aku tidak termasuk pada orang yang dipindahkan. Kemudian anggota baru pun berdatangan. Tapi rasanya sama saja, tak ada beda…karena Uni nya tetap sama. Tak masalah, karena mereka pun mudah berbaur dengan kita. Bagiku yang penting Uni nya tetap sama.

Setelah empat tahun berada di Padang Kota Tercinta Kujaga dan Kubela, masa studiku berakhir sudah. Tiba saatnya untukku kembali ke kampung tercinta. Ada sedih dan sesak di dada. Tapi apa mau dikata, ini kemauan orangtua yang menginginkan aku kembali kesana. Awalnya berat terasa tapi setelah merenung sekian lama, menurutku tak salah juga. Mengapa aku tak mencoba untuk mengabdi pada daerah kelahiranku?

Sedih, saat menatap matamu untuk terakhir kalinya. Kucoba merekam senyummu di otakku. Menyimpan semua petuahmu di dadaku. Tak ada yang bisa kukatakan sebagai kata-kata perpisahan karena dada ini begitu sesaknya. Sambil memelukku Uni berkata ”Kalau besok walimahan, jangan lupa undang Uni ya…” Aku tersenyum, ”Insya Allah Uni…”

Sampai di wisma hati ini belum tenang juga, kukirimkan lagi SMS untuk menyampaikan apa yang tersimpan di dada. Lalu kau membalasnya  dengan kata-kata maaf atas semua kesalahan yang pernah ada dan juga meminta maaf sebagai murobbi belum bisa mencarikanku jodoh. Terakhir doa semoga kita tetap istiqomah di jalan-Nya dan aku mendapatkan jodoh orang yang istiqomah juga.

Senyumku terkembang, hatiku basah saat membacanya seperti mataku yang turut basah juga. Uni…terima kasih untuk semuanya. Tahu tidak, hingga kini SMS itu masih kusimpan, padahal sudah dua tahun lamanya.

Hmmm…tarbiyah memang penuh warna. Terkenang kata-kata sakti ”Tarbiyah bukan segala-galanya, tapi dari Tarbiyah berawal segala-galanya”. Atau kalimat ”Bukan Tarbiyah yang butuh anda, tapi anda lah yang butuh Tarbiyah. ” Kata-kata yang kuanggap sebagai cambuk saat rasa malas mulai mendera. Kata-kata yang selalu kuulang saat lelah mulai meraja atau di saat kecewa mencoba menerobos dinding sukma.

Mungkin itu yang membuatku berusaha bertahan hingga saat ini disamping juga doa dari saudara-saudara yang menyayangiku. Bukan tak pernah datang bisikan untuk berhenti saja, tapi segera aku bangkit dan membaca kembali catatan-catatan saat halaqoh ataupun goresan tangan teman-teman saat aku akan pergi dulu. Itu menjadi sumber kekuatan bagiku.

Makanya, aku sangat menyayangkan sekali jika mendengar teman banyak yang berubah saat telah kembali ke kampung halamannya. Ada apa dengan mereka? Apa tak cukup masa-masa penggemblengan saat menjadi mahasiswa. Kemana semua tausiyah-tausiyah yang pernah ada, materi-materi pelatihan yang dilalap habis hingga tak bersisa.

Hilang ditelan bumi kah? Uni tahu, aku sangat takut sekali hidayah ini tercerabut dariku. Sungguh Uni, aku takut sekali.

Uni…murobbi boleh saja berganti. Tapi, dirimu tetap hidup di hatiku. Semua yang pernah kurasakan saat menjadi mutarobbimu akan tetap tersimpan di hatiku dan menjadi kenangan terindah dalam hidupku. Aku takkan membandingkanmu dengan orang lain karena dirimu punya tempat tersendiri di hatiku, begitu juga dengan murobbi lainnya.

Mungkin aku sering lupa menanyakan kabarmu atau hanya sekedar mengucapkan salam saja, itu lah kekuranganku sebagai manusia. Tapi aku selalu berusaha menghadirkanmu dalam rabithohku. Uni…maafkan aku ya… kumohon doakan aku untuk tetap istiqomah. Yang terakhir, doaku agar dirimu sehat dan senantiasa dalam lindungan-Nya.

Wassalamu ’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

(Kutuliskan untuk seorang Uni yang berada di Kota Padang, Murobbi yang sangat berkesan di hatiku) 

Tapanuli Tengah, 2 November 2009
Tertanda
ECI FATHIYA DE RAIN


pageads
Tag : liqo