Ketua Pusat Studi az-Zaytouna, Muhsin Shalih mengatakan, Intifadhah Al-Quds saat ini telah mengguncang dua pondasi masyarakat Israel yakni keamanan dan ekonomi. Sementara, rakyat Palestina menunjukkan ketegarannya dalam berjuang karena itu umat harus fokus dalam melawan penjajah Israel.
Dalam dialognya pada Senin kemarin (6/4) dalam program “bilaa hudud” di Aljazeera Channel, Shalih memprediksi bahwa Intifadhah kali ini akan mampu melampaui tantangan yang dihadapi. Meski menghadapi banyak hambatan, perlawanan saat ini cenderung meningkat.
Soal kerugian Israel dalam Intifadhah Al-Quds, Shalih mengatakan, ada 1516 aksi serangan selama lima bulan pertama aksi ini, 296 di antarnaya menimbulkan kerugian nyawa atau melukai Israel dan semua aksi ini bersifat indifidu.
Shalih mengisyaratkan, jika keamanan dan ekonomi penopang utama Israel, maka Intifadhah saat ini mampu mengguncang kedua pondasi Israel itu. Sebanyak 77% warga yahudi tidak lagi merasakan aman, 52% merasakan sama sekali tidak aman, 25% merasa kehilangan keamanan, demikian data resmi Israel.
Shalih menambahkan, Israel telah mengerahkan 27 batalion militer dalam menghadapi Intifadhah yang artinya masyarakat Israel dalam kondisi dipaksa menguras energi mereka. Ini yang mempengaruhi perilaku mereka karena sebanyak 80% warga kota menyatakan tidak mau keluar rumah pada waktu tertentu. Belum lagi bicara soal kerugian pariwisata dan lainnya.
Shalih juga menyatakan, Intifadhah saat ini berbentuk gelombang tanpa henti. Sementara Intifadhah pertama dalam bentuk “anak-anak yang melempari Israel dengan batu”, intifadhah kedua dengan ciri aksi syahid berani mati, namun intifadhah ke-3 sekarang dikenal dengan intifadhah pisau.
Shalih menilai juga bahwa Intifadhah saat ini lintas organisasi dan lebih kepada inisiatif pribadi tanpa komando dari faksi-faksi Palestina sehingga tak memiliki pemimpin. Selain itu, keterlibatan besar dari kelompok umur Palestina.
Generasi Intifadhah saat ini dikenal sebagai generasi penentang Oslo yang lahir di era perundingan tersebut. Mereka menolak dalam bentuk perlawanan rakyat ini, berkorban tanpa kenal takut dalam membela Al-Quds dan Al-Aqsha.
Masa Depan Otoritas Palestina
Soal masa depan otoritas Palestina, Shalih menyebut sudah sampai pada kebuntuan. Sebab alih-alih naik status menjadi Negara di wilayah jajahan 1967, otoritas Palestina (OP) justru berubah menjadi satpam bagi Israel.
Proyek perundingan sudah menemui jalan buntu. 70% warga Palestina menganggap kesepakatan Oslo sudah mati dan 50% warga Palestina meminta agar otoritas Palestina dibubarkan.
43% pegawai OP di Tepi Barat adalah aparat keamanan, dan menyedot 40% anggaran.
Shalih menyatakan, perlawanan Palestina kini menyatukan rakyat terlepas dari afiliasi politik mereka.
Soal masa depan Intifadhah Al-Quds, Shalih menegaskan ada tiga tantangan; pertama, keberlanjutannya teruji karena menghadapi tekanan keras dari berbagai pihak yang berusaha menguburnya. Kedua, tantangan penyebarannya di tengah usaha mengepungnya. Dan ketiga, ada usaha politik yang ingin mengalihkan arahnya. (aljazeera)
Dalam dialognya pada Senin kemarin (6/4) dalam program “bilaa hudud” di Aljazeera Channel, Shalih memprediksi bahwa Intifadhah kali ini akan mampu melampaui tantangan yang dihadapi. Meski menghadapi banyak hambatan, perlawanan saat ini cenderung meningkat.
Soal kerugian Israel dalam Intifadhah Al-Quds, Shalih mengatakan, ada 1516 aksi serangan selama lima bulan pertama aksi ini, 296 di antarnaya menimbulkan kerugian nyawa atau melukai Israel dan semua aksi ini bersifat indifidu.
Shalih mengisyaratkan, jika keamanan dan ekonomi penopang utama Israel, maka Intifadhah saat ini mampu mengguncang kedua pondasi Israel itu. Sebanyak 77% warga yahudi tidak lagi merasakan aman, 52% merasakan sama sekali tidak aman, 25% merasa kehilangan keamanan, demikian data resmi Israel.
Shalih menambahkan, Israel telah mengerahkan 27 batalion militer dalam menghadapi Intifadhah yang artinya masyarakat Israel dalam kondisi dipaksa menguras energi mereka. Ini yang mempengaruhi perilaku mereka karena sebanyak 80% warga kota menyatakan tidak mau keluar rumah pada waktu tertentu. Belum lagi bicara soal kerugian pariwisata dan lainnya.
Shalih juga menyatakan, Intifadhah saat ini berbentuk gelombang tanpa henti. Sementara Intifadhah pertama dalam bentuk “anak-anak yang melempari Israel dengan batu”, intifadhah kedua dengan ciri aksi syahid berani mati, namun intifadhah ke-3 sekarang dikenal dengan intifadhah pisau.
Shalih menilai juga bahwa Intifadhah saat ini lintas organisasi dan lebih kepada inisiatif pribadi tanpa komando dari faksi-faksi Palestina sehingga tak memiliki pemimpin. Selain itu, keterlibatan besar dari kelompok umur Palestina.
Generasi Intifadhah saat ini dikenal sebagai generasi penentang Oslo yang lahir di era perundingan tersebut. Mereka menolak dalam bentuk perlawanan rakyat ini, berkorban tanpa kenal takut dalam membela Al-Quds dan Al-Aqsha.
Masa Depan Otoritas Palestina
Soal masa depan otoritas Palestina, Shalih menyebut sudah sampai pada kebuntuan. Sebab alih-alih naik status menjadi Negara di wilayah jajahan 1967, otoritas Palestina (OP) justru berubah menjadi satpam bagi Israel.
Proyek perundingan sudah menemui jalan buntu. 70% warga Palestina menganggap kesepakatan Oslo sudah mati dan 50% warga Palestina meminta agar otoritas Palestina dibubarkan.
43% pegawai OP di Tepi Barat adalah aparat keamanan, dan menyedot 40% anggaran.
Shalih menyatakan, perlawanan Palestina kini menyatukan rakyat terlepas dari afiliasi politik mereka.
Soal masa depan Intifadhah Al-Quds, Shalih menegaskan ada tiga tantangan; pertama, keberlanjutannya teruji karena menghadapi tekanan keras dari berbagai pihak yang berusaha menguburnya. Kedua, tantangan penyebarannya di tengah usaha mengepungnya. Dan ketiga, ada usaha politik yang ingin mengalihkan arahnya. (aljazeera)
Tag :
palestina