Mari Bertanya Tentang Pemecatan Fahri Hamzah
SAYA sudah lama mendengar berita pemecatan Fahri Hamzah. Dari sebulan yang lalu. Walaupun ditutup-tutupi, berita soal pemecatan Fahri sebulan lalu itu memang beredar dalam bisik-bisik diantara grup percakapan Keluarga Alumni KAMMI Nasional. Suka tidak suka, Fahri sangat susah sekali dilepaskan dari KAMMI. Fahri Hamzah memang pendiri sekaligus Ketua KAMMI pertama dan sekarang menjadi anggota Presidium Nasional Keluarga Alumni KAMMI.
Kembali ke berita tadi. Bahkan, konon, demi memuluskan dan menguatkan pemecatan Fahri (agar tidak digugat balik dalam PTUN) serta -mungkin juga- dalam rangka melengkapi perangkat keorganisasian partai, Partai Keadilan Sejahtera sampai membuat surat ke Menkumham untuk mengusulkan kelengkapan struktur baru yang bertugas setara Majelis Mahkamah Partai, bernama Majelis Tahkim. Konon ketuanya adalah Habib Salim Segaf Al-Jufrie. Tapi ada juga info kalau Ketuanya Hidayat Nurwahid. Entah mana yang benar. Yang jelas keduanya pemegang kunci di Majelis Syuro PKS.
Jadi, dalam struktur partai, Habib Salim dan atau Hidayat Nurwahid menduduki dua posisi kunci dan sangat penting; menjadi Ketua Majelis Syuro PKS, sebuah struktur majelis pengambil keputusan tertinggi partai; dan Majelis Tahkim, mahkamah yang memberi keputusan terkait keanggotaan dan dinamikanya di struktur. Termasuk misalnya jika ada pelanggaran dari salah satu anggota dan partai harus membuat keputusan, majelis inilah yang memberikan 'kalimat final' tentang nasib anggota partai tersebut.
Yang ingin saya kritisi ada empat hal; yang pertama, berkaitan dengan personalia pemegang otoritas dan keputusan partai. Yang kedua terkait Fahri Hamzah itu sendiri. Yang ketiga, terkait dengan situasi politik dan keputusan partai. Dan yang keempat, berkaitan dengan sikap anggota KAMMI secara nasional.
Yang pertama, tentang personalia pemegang otoritas. Kalau kita jeli membaca tentang apa itu Majelis Tahkim dan apa saja fungsinya, mungkin akan terlintas dalam bayangan kita, ada hal yang akan berpotensi 'salah'. Dalam Bab 26 Pasal 32 AD PKS Tentang Majelis Tahkim, berbunyi pengertian majelis tersebut; "Majelis Tahkim adalah penyelenggara tugas kemahkamahan Partai berkenaan dengan struktur organisasi dan kepengurusan Partai, pemeriksaan terhadap Anggota yang diduga melanggar peraturan Partai, melakukan uji materil, memberikan penafsiran atas Peraturan Partai, dan memutus perselisihan kewenangan".
Kalau misalnya, kita menjadi pemegang otoritas lembaga permusyawaratan tertinggi partai tapi juga sekaligus menjadi pemutus atas 'nasib anggota', punya kuasa untuk menafsirkan peraturan partai dan menjadi hakim perselisihan dan multitafsir kewenangan dalam struktur, maka bisa dibayangkan; betapa 'powerful'nya kita.
Yang saya khawatirkan, ada satu kondisi atau momentum, dengan segala kekuasaan yang 'hampir absolut' dalam kacamata politik dan partai tersebut, yang membuat kita lantas terjerembab dalam sebuah situasi dimana kita bisa 'melanggar kewenangan', atau bahkan 'mengangkangi kekuasaan' karena begitu berkuasanya kita.
"Tapi ini kan organisasi dakwah, bukan partai politik murni", begitu yang sering kita dengar. Iya benar. Tapi saya hanya mencoba mengkritisi sisi politiknya, karena saya tidak mau menjadi terlalu naif menggunakan kalimat apologi di atas ketika kita berbicara dalam situasi politik. Karena saya meyakini; partai politik, apapun itu, pasti menggunakan logika-logika politik dalam mengeksekusi keputusan-keputusannya.
Saya tidak mempermasalahkan siapapun yang ada dalam struktur partai, karena ini domain partai dan wewenang PKS untuk memutuskan. Tapi sekali lagi, sebelum banyak hal berpotensi menjadi salah, saran saya, sebaiknya Posisi Ketua Majelis Syuro atau Wakil Majelis Syuro tidak bergandeng-rantang dengan Majelis Tahkim. Agar ada situasi kritik dan otokritik antar struktur dalam partai.
Yang kedua, soal pemecatan Fahri Hamzah. Pemecatan Fahri Hamzah tidak main-main; dipecat dari anggota partai dan hilang seluruh hak keanggotannya, termasuk jabatan politik yang sekarang sedang diembannya. Saya geleng-geleng kepala mendengarnya. Karena informasi sebulan lalu, hanya dipecat dari Wakil Ketua sekaligus Anggota DPR, tidak dipecat dari anggota partai.
Dalam sejarahnya, PKS memang beberapa kali melakukan keputusan pemecatan kepada anggota partai yang terbukti melanggar AD/ART Partai. Seluruh anggota yang dipecat tidak pernah dipublikasikan kesalahannya kepada khalayak; karena PKS beralasan, itu merupakan aib yang bersangkutan, dan memang ini sesuai dengan akhlak islami untuk menutupi aib dan melindungi kehormatan seorang muslim, seberapapun buruknya pelanggaran syar'i yang dilakukan.
Tapi dalam soal Fahri, sepertinya kita perlu menanyakan dengan keterbukaan langkah PKS tersebut.
Pertama, tentang alasan pemecatan. Setahu saya, dalam Pasal 11 Ayat 1 AD PKS, "Anggota diberhentikan keanggotaannya apabila; a) Meninggal dunia; b) Mengundurkan diri; c) Menjadi anggota Partai Politik lain; d) Melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta Peraturan Partai lainnya; atau e) Akan menduduki suatu jabatan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dilarang dijabat oleh anggota partai politik".
Pertanyaannya, atas dasar alasan apa Fahri Hamzah sampai dipecat? Apakah karena melanggar AD/ ART dan peraturan organisasi? Kalau melanggar, melanggar yang mana? Atau Fahri menjadi anggota Partai lain? Kalau jadi anggota partai lain, dimana bukti faktualnya? Atau Fahri dipecat karena mau menjadi menteri Kabinet Jokowi, dimana PKS sudah konsisten memutuskan untuk tidak masuk dalam koalisi KIH?
Sepertinya, pertanyaan itu akan mengemuka dan membesar. Pertama, pemecatan Fahri diselimuti kejanggalan yang tak terjawab dari pertama isu ini berhembus. Yang kedua, Fahri Hamzah, dengan segala kekurangan dan kelebihannya adalah salah satu tokoh ikonik PKS yang saya yakin memiliki pendukung yang tidak sedikit. Keputusan pemecatan yang memiliki implikasi publik sangat luas tanpa penjelasan di ruang publik, akan memberikan gejolak dan ketidakpercayaan pada partai. PKS -atau segelintir elitnya- akan dituduh bertindak otoriter dan berlaku sewenang-wenang dalam politik. Dan sematan ini membuat PKS kehilangan sebagian basis pemilih rasionalnya; terutama dari kalangan aktivis gerakan dimana Fahri lahir dari rahim tersebut.
Yang kedua, dengan tindakan tanpa 'ba-bi-bu' langsung main pecat tanpa penjelasan ke publik tersebut, oknum petinggi PKS bisa dituduh telah mengangkangi dan melanggar AD/ART Partai, yaitu Pasal 7 AD Partai yang berbunyi; "Tujuan Partai, yaitu terpenuhinya hak, kewajiban, dan tanggung jawab politik setiap Anggota sebagai warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara", dan Pasal 8 bagian (a) yang berbunyi; Partai berfungsi sebagai wahana untuk bekerja dalam menyelenggarakan pendidikan politik".
DPP PKS juga bisa dituduh telah menghilangkan hak asasi manusia yang notabene anggota partai, dimana Hak Anggota dalam Pasal 7 bagian (b), (c), (f), (g) dan (h) ART PKS yang berbunyi; "Hak Anggota: (b) Memperoleh pembinaan; (c) Mempunyai hak bicara; (f) Mengemukakan pendapat serta usulan secara bebas dan terbuka, menyampaikan nasihat dan kritik, berkreasi, serta berinisiatif dalam berbagai bentuk, secara beradab dan sesuai tertib organisasi; (g) Membela diri, mendapat pendampingan serta pembelaan, dan/atau rehabilitasi; (h) Mendapatkan perlindungan dan pembelaan hukum dalam melaksanakan tugas kepartaian.
Kalau saja, PKS bisa terbuka dan mengatakan; "PKS melakukan pemecatan karena ada pelanggaran syar'i yang dilakukan saudara Fahri Hamzah, dan kami sulit terbuka apa pelanggaran syar'i nya", maka mungkin kita bisa sedikit mengatakan dalam hati "sabar wahai bang FH..". Tapi, ini benar-benar tidak terbuka salahnya dimana dan benar-benar tanpa angin tanpa hujan, langsung muncul keputusan pecat !. Wow, luar biasa.
Santer berhembus, Fahri dipecat dari Wakil Ketua DPR karena sempat melontarkan pembelaan pada saat kasus Setya Novanto di rekaman Freeport. Kalau ini benar, menurut saya PKS benar-benar salah kaprah; lebih mementingkan opini dan gosip publik yang tanpa basis rasionalitas yang ajeg daripada sekedar prinsip-prinsip partai. Karena saya lihat, prinsip partai tidak ada yang dilanggar dalam kasus tersebut. Fahri memang sempat membela Setya Novanto, tapi narasinya adalah menjaga marwah dan kehormatan lembaga legislatif agar tidak diobok-obok tanpa terkendali oleh LSM dan media.
Lalu ada isu lagi, bahwa Fahri Hamzah dipecat dari keanggotaan partai karena sudah berani melaporkan seniornya ke BPDO (Badan Penegak Disiplin Organisasi), karena seniornya terkesan melakukan intervensi dan serangan pribadi (personal attack) kepada Fahri Hamzah. Justru ini terkesan lebih konyol lagi. Saya kira, sikap kritis Fahri Hamzah dalam soal persidangan dirinya itu karena dua hal; pertama, ingin memastikan pengadilan partai bersikap jujur dan adil tanpa intervensi kekuasaan partai dan desakan dari luar partai.
Apa itu desakan dari luar partai? Bisa macam-macam; entah karena desakan media, kelompok masyarakat tertentu, tekanan penguasa, atau bahkan bisa karena barter kasus; senior partai tersandung kasus dan kasus itu dijadikan amunisi untuk menekan senior partai. Memang bisa seperti itu? Ya bisa saja. Ini kan dunia politik. Segala sesuatu bisa terjadi.
Dan yang kedua, ini yang tak kalah pentingnya, Fahri ingin mempraktikkan haknya sebagai anggota untuk berbicara, bersikap kritis, mendapatkan rehabilitasi dan pembinaan jika salah, dan mendapatkan bantuan hukum jika melanggar. Sesederhana itu.
Lalu ada juga pertanyaannya. Dan ini perlu dibuka. Siapa yang melaporkan Fahri Hamzah ke BPDO? Apakah sama dengan orang yang duduk memegang amanah di Majelis Tahkim? Kalau sampai isu bahwa orang yang melaporkan ke BPDO adalah orang yang sama yang duduk di Majelis Tahkim benar adanya, maka hancurlah kredibilitas kejujuran personalia petinggi partai. Bacaan publik jadi lebih sederhana; "Ternyata benar ada rekayasa menghancurkan pribadi Fahri Hamzah di PKS".
Logika hukumnya memang harus sederhana; ada pelapor, ada terlapor, ada hakim. Masing-masing posisi harus berdiri sendiri. Kalau dua posisi ditempati orang yang sama, maka secara etik, hukuman atas Fahri dan seluruh prosesnya menjadi batal. Kata pepatah; "Sebab, seorang raja saja butuh hakim dan penasehat dalam memutuskan perkara".
Hal ketiga yang ingin saya kritisi adalah soal situasi politik. Partai politik dimanapun berada, akan mempertimbangkan situasi dan kondisi politik dalam memutuskan perkara. Apalagi perkara yang memberi dampak politik besar bagi internal dan eksternal.
Yang pertama, situasi politik. Dalam situasi politik dimana publik sedang membuka persekongkolan jahat reklamasi Teluk Jakarta yang memberikan keuntungan ratusan triliun kepada segelintir konglomerat, dan PKS menyiramnya dengan keputusan soal pemecatan Fahri, maka publik akan berdecak kaget dan berpikir seratus hal tentang PKS. "Apa mungkin PKS sengaja melempar berita pemecatan Fahri karena terlibat dalam konspirasi menutupi kasus Reklamasi Teluk Jakarta? Lalu siapa saja yang bermain?". Dan banyak pikiran lain yang akan lahir dari kejadian di PKS ini.
Yang kedua soal dampak internal dan eksternal. Dampak internal tadi sudah saya sampaikan. Saya yakin akan ada banyak hal di kalangan anggota dan simpatisan PKS; bersedih, tidak semangat, bertanya-tanya, masygul, apatis dengan PKS, dan seterusnya. Dampak eksternal tentu saja dari kalangan profesional, akademisi dan aktivis muda kanan dan kiri yang selama ini banyak menaruh harapan pada Fahri Hamzah. Mereka akan melihat PKS akan mendaki bukit yang terjal, kabut yang suram dan tak lagi menarik; setidaknya untuk saat ini. Fahri dengan segala gayanya, adalah 'solidarity maker' bagi kelompok kritis negeri ini. Kabar ini adalah duka yang dalam bagi mereka.
Yang keempat yang ingin saya kritisi adalah sikap anggota KAMMI baik yang masih aktif maupun yang sudah alumni. Peristiwa pemecatan Fahri menjadi pelajaran bahwa anak muda harus bersatu. Bukan semata karena Fahri Hamzah adalah senior KAMMI. Tapi, Fahri adalah simbol tentang kepercayaan kaum muda pada perjalanan demokrasi di Indonesia. Lalu, mau kemana kita melangkah, jika simbol itu dibunuh oleh buah yang selama ini diperjuangkan ?.
Bentuk persatuan anggota KAMMI bisa banyak hal; petisi, protes keras lewat gelombang sms, WA, email, twitter dan Facebook. Atau lewat saluran pembinaan kader PKS dimana mungkin ada aktivis KAMMI yang menjadi pesertanya. Silahkan saja bagi mereka anak-anak muda yang masih terlibat dalam kaderisasi PKS. Segeralah bertanya.
Intinya; jangan diam. Jangan diam. Jangan diam.
Mari bertanya tentang hal yang ganjil ini. Tetap taruhlah harapan pada salah satu partai reformis ini. Tapi jangan sampai, harapan kita menyebabkan kita diam saat tangan besi menjatuhkan keputusan semena-mena tanpa pertimbangan kemanusiaan dan keadilan. Tanpa cinta dan persaudaraan. (rmol)
Semoga partai reformis ini tidak masuk angin.
Bambang Prayitno
Anggota Keluarga Alumni KAMMI
Opini atas nama pribadi
SAYA sudah lama mendengar berita pemecatan Fahri Hamzah. Dari sebulan yang lalu. Walaupun ditutup-tutupi, berita soal pemecatan Fahri sebulan lalu itu memang beredar dalam bisik-bisik diantara grup percakapan Keluarga Alumni KAMMI Nasional. Suka tidak suka, Fahri sangat susah sekali dilepaskan dari KAMMI. Fahri Hamzah memang pendiri sekaligus Ketua KAMMI pertama dan sekarang menjadi anggota Presidium Nasional Keluarga Alumni KAMMI.
Kembali ke berita tadi. Bahkan, konon, demi memuluskan dan menguatkan pemecatan Fahri (agar tidak digugat balik dalam PTUN) serta -mungkin juga- dalam rangka melengkapi perangkat keorganisasian partai, Partai Keadilan Sejahtera sampai membuat surat ke Menkumham untuk mengusulkan kelengkapan struktur baru yang bertugas setara Majelis Mahkamah Partai, bernama Majelis Tahkim. Konon ketuanya adalah Habib Salim Segaf Al-Jufrie. Tapi ada juga info kalau Ketuanya Hidayat Nurwahid. Entah mana yang benar. Yang jelas keduanya pemegang kunci di Majelis Syuro PKS.
Jadi, dalam struktur partai, Habib Salim dan atau Hidayat Nurwahid menduduki dua posisi kunci dan sangat penting; menjadi Ketua Majelis Syuro PKS, sebuah struktur majelis pengambil keputusan tertinggi partai; dan Majelis Tahkim, mahkamah yang memberi keputusan terkait keanggotaan dan dinamikanya di struktur. Termasuk misalnya jika ada pelanggaran dari salah satu anggota dan partai harus membuat keputusan, majelis inilah yang memberikan 'kalimat final' tentang nasib anggota partai tersebut.
Yang ingin saya kritisi ada empat hal; yang pertama, berkaitan dengan personalia pemegang otoritas dan keputusan partai. Yang kedua terkait Fahri Hamzah itu sendiri. Yang ketiga, terkait dengan situasi politik dan keputusan partai. Dan yang keempat, berkaitan dengan sikap anggota KAMMI secara nasional.
Yang pertama, tentang personalia pemegang otoritas. Kalau kita jeli membaca tentang apa itu Majelis Tahkim dan apa saja fungsinya, mungkin akan terlintas dalam bayangan kita, ada hal yang akan berpotensi 'salah'. Dalam Bab 26 Pasal 32 AD PKS Tentang Majelis Tahkim, berbunyi pengertian majelis tersebut; "Majelis Tahkim adalah penyelenggara tugas kemahkamahan Partai berkenaan dengan struktur organisasi dan kepengurusan Partai, pemeriksaan terhadap Anggota yang diduga melanggar peraturan Partai, melakukan uji materil, memberikan penafsiran atas Peraturan Partai, dan memutus perselisihan kewenangan".
Kalau misalnya, kita menjadi pemegang otoritas lembaga permusyawaratan tertinggi partai tapi juga sekaligus menjadi pemutus atas 'nasib anggota', punya kuasa untuk menafsirkan peraturan partai dan menjadi hakim perselisihan dan multitafsir kewenangan dalam struktur, maka bisa dibayangkan; betapa 'powerful'nya kita.
Yang saya khawatirkan, ada satu kondisi atau momentum, dengan segala kekuasaan yang 'hampir absolut' dalam kacamata politik dan partai tersebut, yang membuat kita lantas terjerembab dalam sebuah situasi dimana kita bisa 'melanggar kewenangan', atau bahkan 'mengangkangi kekuasaan' karena begitu berkuasanya kita.
"Tapi ini kan organisasi dakwah, bukan partai politik murni", begitu yang sering kita dengar. Iya benar. Tapi saya hanya mencoba mengkritisi sisi politiknya, karena saya tidak mau menjadi terlalu naif menggunakan kalimat apologi di atas ketika kita berbicara dalam situasi politik. Karena saya meyakini; partai politik, apapun itu, pasti menggunakan logika-logika politik dalam mengeksekusi keputusan-keputusannya.
Saya tidak mempermasalahkan siapapun yang ada dalam struktur partai, karena ini domain partai dan wewenang PKS untuk memutuskan. Tapi sekali lagi, sebelum banyak hal berpotensi menjadi salah, saran saya, sebaiknya Posisi Ketua Majelis Syuro atau Wakil Majelis Syuro tidak bergandeng-rantang dengan Majelis Tahkim. Agar ada situasi kritik dan otokritik antar struktur dalam partai.
Yang kedua, soal pemecatan Fahri Hamzah. Pemecatan Fahri Hamzah tidak main-main; dipecat dari anggota partai dan hilang seluruh hak keanggotannya, termasuk jabatan politik yang sekarang sedang diembannya. Saya geleng-geleng kepala mendengarnya. Karena informasi sebulan lalu, hanya dipecat dari Wakil Ketua sekaligus Anggota DPR, tidak dipecat dari anggota partai.
Dalam sejarahnya, PKS memang beberapa kali melakukan keputusan pemecatan kepada anggota partai yang terbukti melanggar AD/ART Partai. Seluruh anggota yang dipecat tidak pernah dipublikasikan kesalahannya kepada khalayak; karena PKS beralasan, itu merupakan aib yang bersangkutan, dan memang ini sesuai dengan akhlak islami untuk menutupi aib dan melindungi kehormatan seorang muslim, seberapapun buruknya pelanggaran syar'i yang dilakukan.
Tapi dalam soal Fahri, sepertinya kita perlu menanyakan dengan keterbukaan langkah PKS tersebut.
Pertama, tentang alasan pemecatan. Setahu saya, dalam Pasal 11 Ayat 1 AD PKS, "Anggota diberhentikan keanggotaannya apabila; a) Meninggal dunia; b) Mengundurkan diri; c) Menjadi anggota Partai Politik lain; d) Melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta Peraturan Partai lainnya; atau e) Akan menduduki suatu jabatan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dilarang dijabat oleh anggota partai politik".
Pertanyaannya, atas dasar alasan apa Fahri Hamzah sampai dipecat? Apakah karena melanggar AD/ ART dan peraturan organisasi? Kalau melanggar, melanggar yang mana? Atau Fahri menjadi anggota Partai lain? Kalau jadi anggota partai lain, dimana bukti faktualnya? Atau Fahri dipecat karena mau menjadi menteri Kabinet Jokowi, dimana PKS sudah konsisten memutuskan untuk tidak masuk dalam koalisi KIH?
Sepertinya, pertanyaan itu akan mengemuka dan membesar. Pertama, pemecatan Fahri diselimuti kejanggalan yang tak terjawab dari pertama isu ini berhembus. Yang kedua, Fahri Hamzah, dengan segala kekurangan dan kelebihannya adalah salah satu tokoh ikonik PKS yang saya yakin memiliki pendukung yang tidak sedikit. Keputusan pemecatan yang memiliki implikasi publik sangat luas tanpa penjelasan di ruang publik, akan memberikan gejolak dan ketidakpercayaan pada partai. PKS -atau segelintir elitnya- akan dituduh bertindak otoriter dan berlaku sewenang-wenang dalam politik. Dan sematan ini membuat PKS kehilangan sebagian basis pemilih rasionalnya; terutama dari kalangan aktivis gerakan dimana Fahri lahir dari rahim tersebut.
Yang kedua, dengan tindakan tanpa 'ba-bi-bu' langsung main pecat tanpa penjelasan ke publik tersebut, oknum petinggi PKS bisa dituduh telah mengangkangi dan melanggar AD/ART Partai, yaitu Pasal 7 AD Partai yang berbunyi; "Tujuan Partai, yaitu terpenuhinya hak, kewajiban, dan tanggung jawab politik setiap Anggota sebagai warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara", dan Pasal 8 bagian (a) yang berbunyi; Partai berfungsi sebagai wahana untuk bekerja dalam menyelenggarakan pendidikan politik".
DPP PKS juga bisa dituduh telah menghilangkan hak asasi manusia yang notabene anggota partai, dimana Hak Anggota dalam Pasal 7 bagian (b), (c), (f), (g) dan (h) ART PKS yang berbunyi; "Hak Anggota: (b) Memperoleh pembinaan; (c) Mempunyai hak bicara; (f) Mengemukakan pendapat serta usulan secara bebas dan terbuka, menyampaikan nasihat dan kritik, berkreasi, serta berinisiatif dalam berbagai bentuk, secara beradab dan sesuai tertib organisasi; (g) Membela diri, mendapat pendampingan serta pembelaan, dan/atau rehabilitasi; (h) Mendapatkan perlindungan dan pembelaan hukum dalam melaksanakan tugas kepartaian.
Kalau saja, PKS bisa terbuka dan mengatakan; "PKS melakukan pemecatan karena ada pelanggaran syar'i yang dilakukan saudara Fahri Hamzah, dan kami sulit terbuka apa pelanggaran syar'i nya", maka mungkin kita bisa sedikit mengatakan dalam hati "sabar wahai bang FH..". Tapi, ini benar-benar tidak terbuka salahnya dimana dan benar-benar tanpa angin tanpa hujan, langsung muncul keputusan pecat !. Wow, luar biasa.
Santer berhembus, Fahri dipecat dari Wakil Ketua DPR karena sempat melontarkan pembelaan pada saat kasus Setya Novanto di rekaman Freeport. Kalau ini benar, menurut saya PKS benar-benar salah kaprah; lebih mementingkan opini dan gosip publik yang tanpa basis rasionalitas yang ajeg daripada sekedar prinsip-prinsip partai. Karena saya lihat, prinsip partai tidak ada yang dilanggar dalam kasus tersebut. Fahri memang sempat membela Setya Novanto, tapi narasinya adalah menjaga marwah dan kehormatan lembaga legislatif agar tidak diobok-obok tanpa terkendali oleh LSM dan media.
Lalu ada isu lagi, bahwa Fahri Hamzah dipecat dari keanggotaan partai karena sudah berani melaporkan seniornya ke BPDO (Badan Penegak Disiplin Organisasi), karena seniornya terkesan melakukan intervensi dan serangan pribadi (personal attack) kepada Fahri Hamzah. Justru ini terkesan lebih konyol lagi. Saya kira, sikap kritis Fahri Hamzah dalam soal persidangan dirinya itu karena dua hal; pertama, ingin memastikan pengadilan partai bersikap jujur dan adil tanpa intervensi kekuasaan partai dan desakan dari luar partai.
Apa itu desakan dari luar partai? Bisa macam-macam; entah karena desakan media, kelompok masyarakat tertentu, tekanan penguasa, atau bahkan bisa karena barter kasus; senior partai tersandung kasus dan kasus itu dijadikan amunisi untuk menekan senior partai. Memang bisa seperti itu? Ya bisa saja. Ini kan dunia politik. Segala sesuatu bisa terjadi.
Dan yang kedua, ini yang tak kalah pentingnya, Fahri ingin mempraktikkan haknya sebagai anggota untuk berbicara, bersikap kritis, mendapatkan rehabilitasi dan pembinaan jika salah, dan mendapatkan bantuan hukum jika melanggar. Sesederhana itu.
Lalu ada juga pertanyaannya. Dan ini perlu dibuka. Siapa yang melaporkan Fahri Hamzah ke BPDO? Apakah sama dengan orang yang duduk memegang amanah di Majelis Tahkim? Kalau sampai isu bahwa orang yang melaporkan ke BPDO adalah orang yang sama yang duduk di Majelis Tahkim benar adanya, maka hancurlah kredibilitas kejujuran personalia petinggi partai. Bacaan publik jadi lebih sederhana; "Ternyata benar ada rekayasa menghancurkan pribadi Fahri Hamzah di PKS".
Logika hukumnya memang harus sederhana; ada pelapor, ada terlapor, ada hakim. Masing-masing posisi harus berdiri sendiri. Kalau dua posisi ditempati orang yang sama, maka secara etik, hukuman atas Fahri dan seluruh prosesnya menjadi batal. Kata pepatah; "Sebab, seorang raja saja butuh hakim dan penasehat dalam memutuskan perkara".
Hal ketiga yang ingin saya kritisi adalah soal situasi politik. Partai politik dimanapun berada, akan mempertimbangkan situasi dan kondisi politik dalam memutuskan perkara. Apalagi perkara yang memberi dampak politik besar bagi internal dan eksternal.
Yang pertama, situasi politik. Dalam situasi politik dimana publik sedang membuka persekongkolan jahat reklamasi Teluk Jakarta yang memberikan keuntungan ratusan triliun kepada segelintir konglomerat, dan PKS menyiramnya dengan keputusan soal pemecatan Fahri, maka publik akan berdecak kaget dan berpikir seratus hal tentang PKS. "Apa mungkin PKS sengaja melempar berita pemecatan Fahri karena terlibat dalam konspirasi menutupi kasus Reklamasi Teluk Jakarta? Lalu siapa saja yang bermain?". Dan banyak pikiran lain yang akan lahir dari kejadian di PKS ini.
Yang kedua soal dampak internal dan eksternal. Dampak internal tadi sudah saya sampaikan. Saya yakin akan ada banyak hal di kalangan anggota dan simpatisan PKS; bersedih, tidak semangat, bertanya-tanya, masygul, apatis dengan PKS, dan seterusnya. Dampak eksternal tentu saja dari kalangan profesional, akademisi dan aktivis muda kanan dan kiri yang selama ini banyak menaruh harapan pada Fahri Hamzah. Mereka akan melihat PKS akan mendaki bukit yang terjal, kabut yang suram dan tak lagi menarik; setidaknya untuk saat ini. Fahri dengan segala gayanya, adalah 'solidarity maker' bagi kelompok kritis negeri ini. Kabar ini adalah duka yang dalam bagi mereka.
Yang keempat yang ingin saya kritisi adalah sikap anggota KAMMI baik yang masih aktif maupun yang sudah alumni. Peristiwa pemecatan Fahri menjadi pelajaran bahwa anak muda harus bersatu. Bukan semata karena Fahri Hamzah adalah senior KAMMI. Tapi, Fahri adalah simbol tentang kepercayaan kaum muda pada perjalanan demokrasi di Indonesia. Lalu, mau kemana kita melangkah, jika simbol itu dibunuh oleh buah yang selama ini diperjuangkan ?.
Bentuk persatuan anggota KAMMI bisa banyak hal; petisi, protes keras lewat gelombang sms, WA, email, twitter dan Facebook. Atau lewat saluran pembinaan kader PKS dimana mungkin ada aktivis KAMMI yang menjadi pesertanya. Silahkan saja bagi mereka anak-anak muda yang masih terlibat dalam kaderisasi PKS. Segeralah bertanya.
Intinya; jangan diam. Jangan diam. Jangan diam.
Mari bertanya tentang hal yang ganjil ini. Tetap taruhlah harapan pada salah satu partai reformis ini. Tapi jangan sampai, harapan kita menyebabkan kita diam saat tangan besi menjatuhkan keputusan semena-mena tanpa pertimbangan kemanusiaan dan keadilan. Tanpa cinta dan persaudaraan. (rmol)
Semoga partai reformis ini tidak masuk angin.
Bambang Prayitno
Anggota Keluarga Alumni KAMMI
Opini atas nama pribadi
Tag :
nasional