"Pilkada langsung yang selama ini berjalan memunculkan high cost democracy, bahkan menurut KPK-pun itu juga mendorong praktik korupsi,” kata Mahfudz di Kompleks Parlemen, Senin (8/9/2014).
Sebagai contoh, kata Mahfudz, pelaksanaan pemilu legislatif saat ini yang menggunakan mekanisme pemilihan langsung. Menurut dia, sistem suara terbanyak yang harus dipenuhi oleh seorang calon anggota legislatif agar dapat terpilih membuat proses demokrasi berbiaya mahal.
“Sebagaimana DPR dengan pemilihan langsung dan suara terbanyak saja, biaya politik juga bisa membengkak, dan ini bisa menjadi motif korupsi," katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas menilai praktik korupsi semakin rentan dilakukan kepala daerah hingga tingkat II jika pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD. Menurut Busyro, jika kepala daerah dipilih DPRD, korporasi akan cenderung lebih mudah menyogok anggota DPRD dan anggota DPRD jadi lebih leluasa memeras kepala daerah.
"Praktik korupsi di kepala daerah tingkat II untuk IUP (izin usaha pertambangan) akan semakin parah, dan semakin rentan karena korporasi tambang lebih mudah nyogok anggota DPRD dan sebaliknya anggota DPRD merasa lebih leluasa memeras kepala daerahnya," kata
Busyro melalui pesan singkat, Minggu (7/9/2014).
Namun, sikap parpol Koalisi Merah Putih lalu berubah setelah putusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa hasil Pilpres. Partai Golkar, Partai Gerindra, PAN, PPP, dan Partai Demokrat memilih mekanisme pemilihan gubernur oleh DPRD. Begitu pula pemilihan bupati/wali kota. Awalnya, hanya Demokrat dan PKB yang memilih mekanisme dipilih oleh DPRD pada pembahasan Mei 2014. Sikap fraksi lalu berubah pada September 2014. Partai Golkar, PAN, PPP, Gerindra, dan Demokrat juga memilih mekanisme kepala daerah dipilih oleh DPRD (kompas)
Tag :
nasional