Hal itu dikemukakan Head of Department of Politics and International Relations, Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J. Vermonte dalam dalam Diskusi Media "Analisis Ekonomi, Politik, dan Komunikasi terhadap Kabinet Kerja di Kantor Burson-Marsteller Indonesia, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (31/10/2014).
Philips mengatakan ada tiga skenario yang bisa terjadi dalam hubungan presiden dan DPR ke depan. Pertama, unilateral act atau hubungan keduanya yang saling tidak peduli dan mereka menggunakan hak konstitusi masing-masing. "Ini sangat mungkin terjadi dan tampaknya sudah terjadi seperti contohnya UU MD3, dan UU Pilkada dulu. Skenario ini akan merugikan publik," katanya.
Skenario kedua delay and brinkmanship, menunggu hingga akhir dan pada akhirnya memunculkan kesepakatan (deal) pada menit-menit akhir. Namun, hal ini pun sangat merugikan publik. Contoh yang sudah pernah terjadi, perppu yang dikeluarkan mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Skenario ketiga, go publik atau meminta dan mengerahkan dukungan publik. Mendapatkan dukungan publik ini, kata Philips bisa dilakukan kedua sisi. "Contohnya, saat parlemen sibuk ribut, Jokowi datang ke Sinabung (Tanah Karo, Sumatera Utara) sehingga memunculkan simpati publik," kata Philips.
Langkah ini menurut Philips perlu terus dilakukan sehingga dukungan dari publik juga bisa merambat pada dukungan politik dari masyarakat. Jokowi harus bisa menemukan cara mengkanalisasi dukungan publik ini menjadi dukungan politik(PR)
Tag :
nasional