Video tersebut berisi penggalan-penggalan
investigasi ke kantor unit pelayanan terpadu satu atap (UPTSA); dinas
koperasi, perindustrian, dan perdagangan; serta dinas kebudayaan dan
pariwisata. Juga ada enam kecamatan (Genteng, Karangpilang, Lakarsantri,
Sukolilo, Gubeng, Krembangan) serta lima kelurahan (Kaliasin, Kebraon,
Bangkingan, Semolowaru, Barata Jaya).
Dalam rekaman itu, di Kelurahan Bangkingan
terlihat seorang petugas perempuan kebingungan menentukan tarif
pengurusan izin mendirikan minimarket. Dia sampai meminta saran kepada
pejabat kecamatan soal besaran uang yang harus dikeluarkan si peminta
izin.
Rekaman itu memang tidak menyebutkan
secara jelas jabatan perempuan tersebut. Wajahnya juga disamarkan. Dia
hanya terlihat mengenakan baju batik didominasi merah. Perempuan itu
menelepon dengan ponsel yang kabel charger-nya masih tersambung.
Beberapa bagian gambar yang memperlihatkan identitas diburamkan.
Pada rekaman berikutnya, di kelurahan
lainnya, tampak seorang pegawai perempuan mengenakan baju Korpri. Dia
tidak menyebutkan secara jelas nominal rupiah yang harus dibayarkan
peminta izin. Tetapi, dia menjelaskan bahwa kebutuhan kelurahan itu
cukup banyak sehingga pungutan dari pengusaha tersebut akan dipakai
untuk menutupi operasional. ”Ya, dipakai ini itu. Setahun ratusan juta
itu hanya untuk biaya pegawai,” kata perempuan tersebut.
Lalu, ada sesi yang menunjukkan petugas
Satpol PP Kecamatan Karangpilang bisa membantu pengurusan surat
keterangan domisili usaha (SKDU). Tarifnya dipatok Rp 500 ribu. Dia
menjanjikan bisa menjamin usaha pembukaan sebuah minimarket tanpa ada
gangguan. ”Sambil diurus izinnya, sudah bisa berjalan usahanya,” ujar
oknum satpol PP itu.
Terdapat pula rekaman pegawai negeri sipil
(PNS) di UPTSA yang bisa menjanjikan pengurusan izin dalam waktu cepat.
Petugas itu bertemu dengan tim investigasi dari ombudsman yang sedang
menyamar di kantin UPTSA. Tapi, pertemuan tersebut tidak bisa lama dan
minta dilanjutkan sore di sebuah warung makan di depan Unair
(Universitas Airlangga). Hingga mendekati waktu yang dijanjikan, lokasi
pertemuan dipindah ke sebuah coffee shop di Tunjungan Plaza.
Kepala ORI Jatim Agus Widiarta menuturkan,
dari laporan pegawainya disebutkan bahwa pertemuan itu tidak hanya
melibatkan petugas UPTSA. Ada seorang PNS di lingkungan dinas cipta
karya dan tata ruang yang turut serta. Mereka berdua menjanjikan bisa
mengurus izin usaha ritel modern dengan relatif cepat. ”Biayanya sampai
Rp 110 juta,” kata Agus saat ditemui di kantornya, Jalan Embong Kemiri,
kemarin.
Uang Rp 110 juta itu dipakai untuk
pengurusan satu paket komplet izin usaha. Mulai izin domisili, surat
keterangan rencana kota, izin mendirikan bangunan, sampai dokumen
lingkungan. Lama pengurusan hanya tiga bulan. ”Biaya itu juga sudah
termasuk ongkos koordinasi. Entah apa maksudnya koordinasi itu. Apakah
dengan atasan atau bagaimana?” imbuh Agus.
Hanya, yang membuat dia heran, ada seorang
oknum di lingkungan Satpol PP Surabaya yang terlibat. Dalam penelusuran
di kecamatan dan kelurahan, petugas satpol PP itu juga disebut. ”Dia
bukan petugas biasa. Tapi, punya eselon,” tambah Agus.
Agus menuturkan, bukti rekaman dan hasil
analisis dalam bentuk dokumen itu sudah diserahkan kepada perwakilan
Pemkot Surabaya pada Senin (22/12). Tujuannya, pemkot bisa melakukan
perbaikan internal. ”Kami tidak punya niat merusak. Hanya ingin
memberikan masukan bahwa ada celah yang harus diperbaiki,” imbuhnya.
Dengan alasan itu pula, identitas para oknum pungli tersebut disamarkan.
Celah yang mudah mengundang pungli, antara
lain, pengurusan SKDU. Surat tersebut memang tidak terkait langsung
dengan pengurusan izin usaha yang dikeluarkan pemkot. Tapi, SKDU
diperlukan untuk pengurusan nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan
pengurusan pembuatan akta perusahaan.
Sayangnya, penerbitan SKDU tidak jelas.
Ombudsman menemukan ada lurah yang bisa membuat.
Tapi, ada juga camat
yang menerbitkan. Selain itu, tidak jelas retribusi yang dikenakan.
Aturan yang masih abu-abu itulah yang dimanfaatkan pejabat di lingkup
kelurahan atau kecamatan untuk mengais rupiah.
Aturan yang masih samar-samar juga
ditemukan dalam pengurusan izin pendirian minimarket. Sejauh ini dewan
pernah menggedok perda tentang penyelenggaraan toko modern. Tapi, perda
tersebut belum diterapkan.
Kepala Badan Koordinasi Pelayanan dan
Penanaman Modal yang membawahkan UPTSA Eko Agus Supiadi Sapoetro
menuturkan bahwa asas praduga tidak bersalah dikedepankan dalam
mengungkap masalah tersebut. Dia juga belum sepenuhnya yakin bahwa orang
yang ditemui ombudsman itu benar-benar petugas UPTSA. ”Bisa jadi itu
orang luar atau biro jasa yang mengaku-ngaku pegawai kami,” ujar dia.
Di UPTSA ada 91 pegawai. Sebanyak 42 orang
di antaranya berstatus PNS. Selebihnya bukan. Eko menuturkan, dirinya
turut hadir dalam rilis ORI di Jakarta itu. Selain dia, ada asisten
administrasi umum Hadisiswanto Anwar dan Kepala Inspektorat Sigit
Sugiharsono. ”Kami segera menindaklanjuti hasil investigasi itu,” ujar
dia.
Secara terpisah, Kepala Satpol PP Surabaya
Irvan Widyanto mengungkapkan bahwa laporan dari ombudsman itu akan
dilihat lebih cermat lagi. Dia juga meminta laporan tersebut diperjelas
dengan menyebutkan nama oknum petugas yang terlibat. ”Kalau memang
benar-benar terbukti salah, tentu saja akan kami sanksi dengan tegas,”
ujar dia.
Namun, Irvan berharap jangan hanya karena
ulah satu orang saja mencoreng nama seluruh petugas Satpol PP Surabaya.
Selain itu, dia khawatir jangan-jangan ada orang yang mengatasnamakan
satpol PP.
Hasil investigasi ORI juga menyebut bahwa
enam kecamatan dan lima kelurahan yang mereka sisir masuk dalam zona
merah. Tandanya, di wilayah tersebut tingkat kepatuhannya rendah. Banyak
penyimpangan yang terjadi berkenaan dengan prosedur, kompetensi,
bertindak tidak patut, tidak kompeten, dan pungli.
Dikonfirmasi tentang berita itu, Kanti
Budiarti sebagai camat Sukolilo mengelak. ”Sejauh ini yang saya tahu di
Kantor Kecamatan Sukolilo tidak ada pungli dalam hal pengajuan
perizinan,” paparnya.
Hal yang sama disampaikan Suwarti, lurah
Semolowaru. Dia juga mengatakan bahwa di instansi yang dipimpinnya tidak
ada pungutan liar. ”Semuanya gratis. Kalau tidak percaya, silakan tanya
penduduk yang pernah mengurus di sini,” ungkap perempuan asli
Jogjakarta tersebut.
Menindaklanjuti berita itu, Kanti maupun
Suwarti menyatakan sudah berkoordinasi dengan stafnya. ”Saya sudah
memanggil Kasi Trantib dan menanyakan soal pungli. Sejauh ini tidak
terdapat indikasi tersebut,” papar Suwarti. ”Jika ada pungutan, mungkin
dari calo. Kan ada biro jasa yang memberikan pelayanan untuk mengurus
izin usaha,” ungkap Kanti.
Kanti berharap sebaiknya temuan tersebut
disertai penunjukan oknum yang terlibat. Dia mengaku, jika seperti itu,
sulit menindaklanjutinya.
Sementara itu, Kecamatan Karangpilang
langsung merespons dugaan mala-administrasi di wilayah tersebut. Camat
Karangpilang Hermanto menyatakan, pihaknya ingin terbuka dalam pelayanan
publik. Jika ada oknum pegawai yang melakukan pungli, dia meminta
disebut nama pelakunya.
”Agar kami bisa melakukan tindakan,” terang dia.
Kalau hanya disebut ada pungli, dia
bingung siapa yang melakukannya. Lembaga yang menginvestigasi kasus
tersebut harus detail dalam menjelaskan identitas pelaku sehingga
masalahnya bisa jelas.
Kecamatan Gubeng berbuat serupa. Camat
Gubeng Achmad Widyantoro mengumpulkan anak buahnya dan bertanya kepada
mereka apakah ada yang melakukan mala-administrasi. ”Mereka menjawab
tidak ada yang melakukan tindakan itu,” kata dia.
Dia yakin praktik seperti itu dilakukan
para calo yang mengaku memberikan fee kepada petugas kecamatan. Padahal,
tidak ada uang yang diberikan kepada pegawai. Uang tersebut mereka
ambil sendiri. Pihaknya, kata dia, sudah beberapa kali melarang calo
datang ke kantor kecamatan.
Di sisi lain, temuan dugaan pungli liar
perizinan di lingkungan pemkot mendapat atensi dari DPRD Surabaya.
Sejumlah komisi langsung mengagendakan pemanggilan terhadap instansi
yang ditengarai marak pungli.
Komisi A juga langsung membuka layanan
pengaduan terhadap laporan dugaan pungli. ”Hasil temuan Ombudsman RI
layak ditindaklanjuti. Karena itu, kami siap menampung laporan-laporan
dari masyarakat jika praktik tersebut masih ada,” kata Ketua Komisi A
DPRD Herlina Harsono Njoto kemarin.
Sejatinya, kata Herlina, saat ini pihaknya
juga tengah menelusuri sejumlah dugaan pungutan perizinan di lingkungan
pemkot. Yang saat ini ditelusuri adalah dugaan tarikan pemberian izin
reklame dan RHU (rumah hiburan umum). ”Sebenarnya, kami sudah memanggil
sejumlah instansi. Namun, karena tidak semua dinas hadir, kami tunda
pekan depan,” katanya.
Dari sejumlah laporan yang diterima komisi A maupun sejumlah komisi lain di dewan, praktik pungutan terkait dengan perizinan di lingkungan pemkot sebenarnya masih banyak.
Termasuk pungli untuk aktivitas tanpa izin. ”Contohnya kasus dugaan reklamasi di kawasan Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya). Di sana, izin jelas tidak ada. Tapi, kenapa bisa tetap dilakukan? Informasinya sih memang ada permainan,” katanya(jpnn)
Tag :
Daerah