Kisah Nyata Seorang Akhwat

Mengenal sosoknya…

Seorang akhwat yang ceria, optimis, cerdas dan percaya diri… Senyum dan tawa selalu mengiringinya tiap bercerita… Ceritanya selalu seru… Penampilannya khas dengan tas ransel dan sepatu kets… Serta cara berjalannya yang cepat dan gagah…

Hingga suatu sore di serambi masjid terlihat ada kegelisahan di matanya, kegelisahan yang coba disembunyikan, tapi gagal… Hingga meluncurlah cerita ini dari bibirnya….

ilustrasi
Dia dilahirkan dalam keluarga miskin… Selepas SMA dia mengadu nasib di ibu kota,lewat jasa seorang saudara dia diterima di sebuah perusahaan multinasional, dengan penghasilan pas-pasan, setiap bulan dia paksakan diri untuk mengirim barang seperempat penghasilannya buat orangtua di kampung… Bukti baktinya pada orangtua, dan untuk membantu biaya sekolah adik-adiknya… Sisanya benar-benar habis untuk biaya hidupnya di jakarta…


Di jakarta Allah memberinya tempat tinggal yang kondusif, tempat tinggal yang dipenuhi orang-orang hanif, bangunan yang dulu dikiranya pesantren yang belakangan dia tau namanya ma’had… Di sekitar situlah dia tinggal… Dan akhirnya di situlah dia mendapatkan banyak ilmu, teman, saudara yang menyayanginya lebih dari saudara sendiri…

Ingin sekali dia berjilbab, tapi selalu ada keraguan… Dia malu kalo orang tau siapa dia sebenarnya… Pantaskah dia berjilbab sementara bapaknya adalah penjudi dan ibunya adalah muci****… Keraguan itu akhirnya dilawannya… Dan akhirnya ia berjilbab…

Masalah pertama datang ketika tiba waktunya pulang kampung, tatapan sinis tetangga, kegerahan ibu dan bapaknya… “Mbok ra sah nganggo ngono-ngono kuwi” (mbok ga usah pake yang gituan) kata sang bapak… Tapi semua ditanggapinya dengan sabar… Dan orang tuanya tidak bisa memaksanya toh selama ini memang dia sudah tidak bergantung lagi sama orang tua…

Tiga tahun berlalu… Mendekati ultahnya yang ke 21… Tiba-tiba dia ingiiiiinnn sekali melihat kedua orangtuanya sholat… Satu hal yang sudah berapa puluh tahun ditinggalkan keduanya… Dibelikakannya ibunya sebuah mukena terbaik yang dia beli dari tenabang, plus sarung dan baju koko… Diselipi surat permohonan kepada orangtuanya, “Mohon bapak dan ibu menerima hadiah ini, dan saya ingin melihat bapak dan ibu sholat sebagai kado ulang tahun saya yang ke-21…”

Waktu berlalu… Suatu sore ibu kos memberitahu dan menyerahkan sepucuk surat, dari kampung… Balasan dari kirimannya beberapa waktu lalu, dibacanya surat itu… Tapi ternyata permintaan ‘sederhananya’ tidak ditanggapi sebagaimana inginnya…

Dia sedih, dia kecewa tapi tidak putus asa… Penolakan orangtuanya untuk memenuhi keinginannya dia balas dengan kekuatan do’a… Berharap impiannya bisa terwujud…

Hari berlalu, posisinya di perusahaan semakin mantap… Kondisi ruhiahnya pun semakin baik, kondisi orangtuanya tidak lagi menjadi beban baginya… Satu persatu teman sekelompok mulai ‘diproses’… Sang murobiyyah pun sudah memberi tanda-tanda dirinya juga harus bersiap-siap menunggu giliran… Memikirkan hal ini, kegelisahan itu pun kembali muncul…

Adakah laki-laki yang mau menerima dirinya, dengan latar belakang keluarga yang demikian hitam??? Haruskah dia ceritakan hal ini pada sang murobbi, atau beranikah dia menceritakan pada sang ikhwah yang nanti mengajaknya ta’aruf?

Bukan kemiskinan yang membuatnya malu… Bukan, bukan itu… Tetapi pekerjaan ibunya lah yang membuatnya bersedih…

Romadhon pun tiba… Dari adik-adik dia mendapat kabar… Bapak tak lagi suka main judi, tapi juga belum mau mengunjungi masjid…

Sementara sang ibu… Sudah mulai ikut tarawih tetapi belum mau meninggalkan pekerjaannya, sebagai mucik***… Tidakkah ibu tau pekerjaan itu pekerjaan dosa besar, uangnya pun tidak halal… Tiap diingatkan cuma pertengkaran ujungnya…”Koyo iso sembodo wae…”, sedih hatinya…

Murobbiyyahnya semakin sering menanyakan biodata yang tak juga segera disetorkannya… Semakin sering ditanya… Semakin kegelisahan mendera…

Beruntung sifat cerianya bisa menutupi semuanya… Tak ada yang beda… “Ummi saya belum siap… Saya ingin berbakti dulu sama orang tua…”, elaknya pada sang murobbiyyah…

Kedekatan dan kebersihan hati sang murobbiyyah bisa menangkap ada sesuatu dalam diri sang binaan… Sesuatu yang terlihat berat tapi coba disembunyikan… Tetapi itu tidak cukup membuat sang akhwat memiliki keberanian untuk menceritakan sisi gelap hidupnya pada sang murobbiyyah…

Menurut teman-teman… Apa sebaiknya si akhwat ini berterus terang atau tidak pada murobbiyyahnya… Atau mendingan nunggu ada ikhwan datang dan menceritakan pada ikhwan yang mengajaknya ta’aruf?(dengan resiko si ikhwan mundur teratur ketika mengetahuinya… )

Seandainya pun tidak diceritakan, pasti suatu saat ikhwan itu akan tahu… Dan tentu akibatnya bisa saja lebih fatal…

Dia bertanya,”Seandainy a saudara laki-laki mbak memiliki calon pasangan hidup dengan latar belakang seperti saya, apakah mbak mengijinkannya? Ato menasehatinya agar mencari perempuan lain yang aman-aman saja?”

Bukan sesuatu yang mudah untuk menumbuhkan keberanian… Menceritakan aib diri… Saya menyadari itu… Saya saja yang ‘hanya’ dikaruniai orang tua yang belum mau sholat saja sudah membuat tertekan…

Terlebih lagi ini… Saya percaya sang akhwat bermental baja… Bahkan kondisi psykologisnya tidak banyak terganggu… Kecuali beberapa kali terlihat matanya sembab… Itupun berusaha disembunyikan dibalik kaca mata minusnya…

Beberapa kali juga terlihat dia gampang tersinggung… Mungkin betul dia tertekan (pasti)… Dia juga bercerita bagaimana ibunya sering kali berkata dan berperilaku kasar padanya… Pun saat dia sudah jauh… Teror mental itu masih saja ada…

Suatu saat… Saat malam baru saja datang… Dia menelpon… Tersedu, tak ada lagi sisa keceriaan yang biasanya hadir saat dia bercerita..

“Mbak… Ibu saya ketangkep sekarang ada di kapolsek… Kata bapak harus nebus 5 juta… Di kasih waktu sampai jam 9 malam… Bapak mendesak harus ada uang… Gimana pun caranya”

“Adik punya berapa?”, tanya saya.

“Cuma ada satu juta, mbak…”, dia menjawab.

“Tolong bilang ke bapak… Minta waktu sampai besok pagi… Kirim dulu uang itu sebagai jaminan… Besok pagi saya usahakan”, balas saya.

Esok paginya… Kutemui dia di sebuah masjid…

Wajahnya menunduk… “Saya sudah menyuruh ibu saya untuk bertobat… Saya belikan rumah sangat sederhana di pinggiran kota solo… Kata ibu dia sudah insyaf… Tapi ternyata masih…”

Semalam… Diam-diam saya telepon murobbiyyah saya, saya yakin beliau kenal dengan murobbiyyah sang akhwat… Saya meminta bantuan penyelesaian kasus ini… Saya tidak sanggup mendampinginya seorang diri… Saya yakin murobbiyyah saya seorang yang amanah, pun murobbiyyah dia…

Saat dhuhur tiba… Murobbiyyah sang akhwat datang… Saya minta maaf kepada sang akhwat karena melibatkan beliau… Alhamdulillah sang akhwat maklum…

Waktu berlalu… Sampai suatu pagi… Pagi-pagi sekali… Dia memberi kabar… “Mbak…doakan ya, kemarin sore saya dipanggil murobbiyyah, katanya ada yang penting” Sepanjang hari itu saya deg-degan menunggu kabar yang penting itu…

Sebulan kemudian dia memberi lagi kabar,”Mbak, minggu depan khitbah…”

Duh tak sabar… Saya ingin bertemu langsung dengannya, mendengar cerita ta’arufnya…

“Si mas yang menyuruh saya agar tidak menceritakan apa-apa pada keluarganya… Biar itu menjadi urusan si mas…”

“Siapa ikhwan yang hebat itu?”, tanya saya…

“Ikhwan pegangan suami murob… Keluaran pesantren… Orang sini asli… Dia mau menerima saya apa adanya… Sepertinya dia tulus…”, ucapnya bahagia… Tapi masih ada keraguan dalam bicaranya…

“Wanita yang baik, untuk laki-laki yang baik… Laki-laki yang baik, untuk wanita baik-baik… Walaupun adek dilahirkan dari ibu seperti itu… Saya mengenal adek sebagai wanita istimewa… Jadi pasti Allah pun mengirimkan laki-laki yang istimewa juga…”, hiburku..

Sampai suatu saat… Saya berkesempatan bertemu pasangan istimewa ini… Kami janjian di sebuah pemancingan ikan di kota Klaten…

Subhanalloh… Saat bertemu pun saya tak kuasa menahan air mata… Suaminya menjabat erat suami saya… Sepertinya mereka sudah lama saling berkenalan… Suaminya ganteng lho… Dari sekilas pandang sepertinya orangnya sabarrr….

“Mbak terima kasih ya…”, ucap akhwat tersebut.

“Gimana si mas?”, tanya saya.

“Subhanalloh… Sabbaaarrr banget, mbak…”, dia menjawab.

“Kalo ibu, sekarang gimana?”, tanya saya lagi.

“Alhamdulillah sudah mau sholat, rutin malah… Tapi temen-temennya masih suka nelpon-nelpon… “, jawabnya.

Hmm… Saya merasakan Kemahabesaran itu… Saya merasakan Kemahakuasaan… Hanya Allah lah yang mempunyai kuasa menggerakkan keberanian lelaki itu hingga sanggup mengambil resiko menikahi seorang akhwat dengan latar belakang yang kelam…

Saya saja yang nulis sambil nangis….

Koq ya ada, kenyataan seperti ini… Ini kisah nyata lho… Bener-bener nyata…

Lebaran kemarin kami juga janjian lagi… Ketemu lagi di waroeng steak di solo… Dia dah gendong bayi mungil… Putih cantik… Langsung jatuh hati sama si mungil yang tertidur pulas digendongan ibunya…

Indahnya ukhuwah… Duh, seseorang yang dulunya tak kenal, sekarang begitu lekat dihati, lebih lekat dari kecintaanku pada sodara kandungku sendiri…(saya kan ga punya sodara perempuan…jadi ketemu dia seperti nemu adik perempuan gitu…)

Beberapa hari lalu dia sms… Nanyain tentang menu bayi… Eh jadi pengen berbagi cerita tentangnya…

Semoga bukan ghibah semata… Semoga banyak ibrah yang bisa dipetik… Semoga banyak semangat yang terpompa karena kisah ini…

Allah adalah dzat yang tiada pernah ingkar janji…

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)…. (An-Nuur ; 26) (JMI)


pageads
Tag : liqo