Kontras Curiga Ada Tindakan Penyiksaan Terhadap Siyono

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)  menemukan indikasi pelanggaran prosedur berupa intimidasi dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror saat menangkap terduga teroris Siyono pada 8 Maret yang berujung pada tewasnya dia saat dibawa polisi.

"Terdapat pola penangkapan yang justru melanggar peraturan atau prosedur yang telah ditetapkan oleh Densus 88 itu sendiri," kata Staf Divisi Hak Sipil dan Politik KontraS Satrio Wirataro di Jakarta, Sabtu (26/3).


Dari hasil penelusuran KontraS, Siyono ditangkap di masjid sebelah rumahnya. Dia ditangkap di hadapan kedua orang tuanya. Namun keluarga Siyono tidak mendapatkan tembusan surat penangkapan maupun surat penggeledahan yang merupakan syarat administrasi bahwa upaya paksa tersebut sah secara hukum.

"Tidak ada penjelasan apapun. Hanya diberi tahu terkait urusan utang-piutang," kata Satrio.

Dua hari setelah penangkapan, polisi kembali datang untuk menggeledah rumah Siyono. Keluarga lagi-lagi tidak mengetahui ke mana dan untuk apa Siyono ditangkap. Keluarga justru diberi tahu pertama kali saat Siyono telah meninggal dunia dan diminta mengurus kepulangan jenazahnya.

Keluarga tidak diberikan rekam medik atau berkas visum, hanya diminta menandatangani surat pernyataan mengikhlaskan kematian Siyono.

"Marso, ayah Siyono, buta huruf. Dia diminta untuk menandatangani surat yang tidak diketahuinya. Polisi bilang, ‘Sudah Pak, ikhlaskan saja, tanda tangani ini," kata Satrio.

KontraS juga curiga ada tindakan penyiksaan selama proses penangkapan oleh polisi. Sebab ditemukan luka di sekujur tubuh Siyono yang, menurut mereka, sulit dipercaya sebagai aksi pembelaan diri saat Siyono menyerang anggota Densus di dalam mobil yang membawanya ke kantor polisi.

Mabes Polri mengatakan Siyono merupakan Panglima Perang kelompok Neo Jamaah Islamiyah, organisasi yang disebut polisi lebih militan dibanding ISIS.

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Anton Charliyan menyatakan lembaganya justru menyesalkan kematian Siyono karena mereka memerlukan keterangannya untuk mengejar tersangka lain yang masih buron.

Menurut Anton, Siyono dan perwira polisi yang membawanya terlibat perkelahian ketika mereka sudah hampir tiba di kantor polisi. Siyono disebut memukul si polisi ketika borgolnya dibuka. Kepala Siyono, kata Anton, lalu terbentur dan ia pingsan sampai diketahui meninggal dunia di rumah sakit.

Apapun, KontraS menilai pengungkapan posisi Siyono selaku teroris oleh polisi tidak etis karena belum bisa dibuktikan.

Menurut KontraS, Densus 88 telah melanggar Pasal 18 KUHAP dan Pasal 9 Perkap No. 23 Tahun 2011 Tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme. Juga Pasal 17 UU No. 38 Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia.

KontraS menuntut adanya tindakan hukum pidana maupun etik terhadap serangkaian maladministrasi dan penyiksaan kematian Siyono. KontraS juga mendesak agar tak ada lagi bentuk intimidasi terhadap keluarga terduga teroris.

Kinerja Densus 88 pun diserukan untuk dievaluasi karena peristiwa seperti yang menimpa Siyono bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya, kesalahan juga pernah dilakukan Densus saat menangkap NS dan AP di Solo pada 28 Desember.

"Jangan sampai semangat memburu teroris justru menyalahi aturan. Densus 88 harus taat hukum," kata Satrio. (Cnnin)
pageads
Tag : Peristiwa