Jauh waktu sebelum pemilu berlangsung, juga saat-saat menjelang hari H-nya, ada sebagian kader yang berbicara dengan nada optimisme yang sangat tinggi-bahkan, menurut sebagian kader lain-dapat dikatakan over optimis.
Sebenarnya, optimisme atau tafa’ul atau raja’ merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang mukmin. Namun, perlu diingat bahwa sifat tafa’ul harus selalu diimbangi dengan rasa ‘adamul amni min makrillah (tidak merasa aman dari makar Allah SWT) dan khauf (takut). Bahkan, salah satu ciri seorang mukmin yang yusari’una fil khairat wahum laha sabiqun-bersegera dalam kebaikan dan menang dalam adu cepat meraih kebaikan itu-adalah wa quluubuhum wajilatun-hati mereka senantiasa takut dan ngeri jika kebaikan yang dilakukannya tidak diterima Allah SWT.
Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka. Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun). Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (Q.S. Al Mu’minun: 57-61)
Mungkin ada yang berkata, “Ooh, itu kan hanya oknum saja !”
Akan tetapi, perlu diingat bahwa kita adalah satu organisasi, satu lembaga, dan satu tubuh. Bukankah kisah tercerai-berainya pasukan Islam pada awal gebrakan ghazwatu Hunain (Perang Hunain) pada tahun 8 H itu disebabkan oleh ucapan sebagian pasukan (baca: oknum)? Menurut berbagai riwayat, yang mengucapkannya adalah orang-orang yang baru masuk Islam. Oknum inilah yang mengatakan, “Karena jumlah kita banyak, kita tidak akan terkalahkan!” Ucapan oknum itulah yang diabadikan oleh Al Quran berikut ini.
Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para Mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai” (Q.S. At-Taubah: 25)
Mungkin karena terlalu percaya diri, maka sebagian kader jarang sekali mengucapkan insya Allah kala mengungkapkan optimismenya. Padahal ucapan insya Allah sangat urgen bagi seorang mukmin, bahkan bisa dikatakan dharuri. Artinya, kita akan hancur kalau tidak mengucapkan kata insya Allah. Seharusnya ucapan insya Allah kita jadikan sebagai karakter, budaya, dan gaya berbicara yang membedakan kita dengan yang lainnya.
Berikut ini adalah beberapa kisah yang menggambarkan betapa urgen dan dharuri-nya ucapan ‘insya Allah’ bagi seorang mukmin.
Kisah Pertama
Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, dikisahkan bahwa suatu hari, Nabi Sulaiman a.s. berkata, “Malam ini aku akan menyetubuhi 60 atau 70 istriku sehingga mereka hamil. Lalu, setiap istriku melahirkan seorang anak lelaki yang akan menjadi mujahid penunggang kuda fisabilillah.” Namun, Nabi Sulaiman a.s. lupa mengucapkan insya Allah.
Malam itu Nabi Sulaiman a.s. berhasil menyetubuhi 60 atau 70 istrinya, tetapi yang hamil hanya salah satu istrinya. Dan saat melahirkan, anak yang dilahirkannya tidak sempurna fisiknya, ia hanya berupa badan saja. Dalam riwayat lain, ia hanya sebelah manusia saja.
Rasulullah SAW bersabda :
“Kalau saja Nabi Sulaiman a.s. mengucapkan insya Allah, niscaya mereka akan berjihad di jalan Allah sebagai penunggang kuda semuanya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan :
“Semua wanita itu akan hamil (dan melahirkan) putra yang berjihad di jalan Allah” (H.R. Muslim)
Kisah Kedua
Di puncak pertarungan pemikiran antara Rasulullah SAW, dengan kafir Quraisy, orang-orang Quraisy mengirimkan dua orang cendekiawannya sebagai utusan khusus kepada orang-orang Yahudi di Madinah. Tujuannya, agar orang-orang Quraisy mendapatkan dukungan ilmu baru dalam menghadapi Rasulullah SAW, yakni An-Nadhar bin Al Harits dan ‘Uqbah bin Abi Mu’ith. Orang-orang Yahudi membekali dua orang cendekiawan itu dengan tiga pertanyaan yang harus mereka ajukan kepada Rasulullah SAW. pertanyaannya adalah:
Bagaimana kisah Ashhabul kahfi ?
Bagaimana kisah Dzul Qarnain ?
Apa yang dimaksud dengan ruh ?
Mendapatkan tiga pertanyaan seperti itu Rasulullah SAW bersabda, “Besok akan saya ceritakan dan saya jawab.” Akan tetapi beliau lupa mengucapkan insya Allah. Akibatnya, wahyu yang biasanya turun kepada beliau setiap kali menghadapi masalah, terhenti selama lima belas hari. Sedangkan orang-orang Quraisy setiap hari selalu datang menagih janji Rasulullah SAW. “Mana ceritanya ? Besok… besok… besok…,” begitu kira-kira ucapan orang-orang Quraisy itu. Rasulullah SAW sangat bersedih atas kejadian itu. Barulah setelah berlalu lima belas hari, Allah SWT menurunkan surat Al Kahfi yang berisi jawaban atas dua pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW, sedangkan pertanyaan yang ketiga disebutkan Allah SWT dalam surat Al Isra’ ayat 85.
Pada penghujung akhir kisah Ashhabul Kahfi, Allah SWT berfirman :
“Janganlah kamu sekali-kali mengatakan, ‘Sesungguhnya saya akan melakukan hal ini besok,’ kecuali dengan mengatakan insya Allah.” (Q.S. Al Kahfi: 23-24)
Mungkin ada orang yang berkata, “Bukankah Nabi Muhammad SAW telah diampuni dosanya baik yang telah lalu dan yang akan datang? Lalu, mengapa kesalahan kecil dan sepele ini mendapatkan hukuman sedemikian rupa? Bukankah kebaikan beliau selama ini bisa menutup kesalahan kecil atau sepele ini?” Jawabannya adalah:
Agar hal ini menjadi durus wa ‘ibar (pelajaran dan ibrah) bagi umatnya. Kalau orang selevel Rasulullah SAW saja dihukum sedemikian rupa, bagaimana dengan kita yang penuh dosa ?
Ada ungkapan yang mengatakan, “Hasanatul Abrar, sayyiatul muqarrabiin”. Artinya, ada hal-hal tertentu bagi orang-orang abrar (orang baik-baik) disebut sebagai hasanat, namun bagi orang-orang yang berkelas muqarrab (yang dekat dengan Allah dan menjadi kekasih-Nya) akan dinilai sebagai sayyiiat (keburukan).
Kisah Ketiga
Pada suatu hari, ketika Nabi Musa a.s. sedang mengajar kaummnya timbul sebuah pertanyaan, “Siapakah yang paling alim di antara kalian ?” Nabi Musa a.s. menjawab, “Saya.” Atas jawaban tersebut, Allah SWT menegurnya dan memberitahukan kepadanya bahwa ada seorang hamba Allah SWT yang lebih alim.
Singkat cerita, Nabi Musa a.s. ingin berguru kepada hamba Allah itu. Hamba Allah itu menerima lamaran Nabi Musa a.s., dengan syarat: Nabi Musa a.s. tidak boleh bertanya, berkomentar, apalagi mengingkari apa yang akan dilihatnya sebelum hal itu dijelaskan kepadanya. Nabi Musa a.s. menerima persyaratan itu.
Hamba Allah itu, yang tidak lain adalah Nabi Khidhir a.s., berkata, “Akan tetapi kamu tidak akan mampu bersabar.”
Spontan Nabi Musa a.s. menjawab, “Insya Allah kamu akan mendapati diriku sebagai orang yang sabar.”
Dalam jawaban ini, Nabi Musa a.s. mengucapkan insya Allah. Akan tetapi jawaban itu menunjukkan bahwa Nabi Musa a.s. kurang tawadhu’. Mengapa? Sebab, ia mengatakan, “…saya sebagai orang yang sabar.”
Beliau tidak mengatakan, “…saya sebagai bagian dari orang-orang yang bersabar.” Artinya, jawaban Nabi Musa a.s. dapat dikonotasikan seakan-akan di dunia ini tidak ada orang yang sabar selain dirinya.
Karena sedikit kurang tawadhu, terbuktilah bahwa Nabi Musa a.s. tidak bisa sabar dalam berguru kepada Nabi Khidhir a.s.. Mengapa? Sebab, setiap Nabi Khidhir a.s. berbuat sesuatu, Nabi Musa a.s. selalu berkomentar, bahkan mengingkarinya. (kisah lengkapnya bisa dilihat di Q.S. Al Kahfi: 60-82).
Rasulullah SAW bersabda :
“Kita sangat senang kalau saja Nabi Musa bersabar, niscaya akan banyak kisah yang bisa kita dapatkan darinya” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Jawaban Nabiyullah Musa a.s. berbeda dengan jawaban Nabiyullah Ismail a.s. ketika ayahandanya (Nabiyullah Ibrahim a.s.) berkata kepada sang putra yang dicintai itu, “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”
Ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.S. Ash-Shaffat: 102)
Jawaban Nabiyullah Ismail ini mengandung makna bahwa, di dunia ini banyak sekali orang yang sabar dan ia insya Allah termasuk salah seorang dari mereka. Kemudian, terbuktilah bahwa Nabi Ismail a.s. mampu bersabar.
Semoga Allah SWT menjadikan kita semua sebagai hamba-hambanya yang selalu mengembalikan sesuatu kepada masyi’ah Allah SWT, menjadi manusia-manusia yang tawadhu’ dan sabar. Amin (bukunya Membangun Ruh Baru – Taujih Pergerakan untuk Para Kader Dakwah) (dodytea)
Sebenarnya, optimisme atau tafa’ul atau raja’ merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang mukmin. Namun, perlu diingat bahwa sifat tafa’ul harus selalu diimbangi dengan rasa ‘adamul amni min makrillah (tidak merasa aman dari makar Allah SWT) dan khauf (takut). Bahkan, salah satu ciri seorang mukmin yang yusari’una fil khairat wahum laha sabiqun-bersegera dalam kebaikan dan menang dalam adu cepat meraih kebaikan itu-adalah wa quluubuhum wajilatun-hati mereka senantiasa takut dan ngeri jika kebaikan yang dilakukannya tidak diterima Allah SWT.
Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka. Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun). Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (Q.S. Al Mu’minun: 57-61)
Mungkin ada yang berkata, “Ooh, itu kan hanya oknum saja !”
Akan tetapi, perlu diingat bahwa kita adalah satu organisasi, satu lembaga, dan satu tubuh. Bukankah kisah tercerai-berainya pasukan Islam pada awal gebrakan ghazwatu Hunain (Perang Hunain) pada tahun 8 H itu disebabkan oleh ucapan sebagian pasukan (baca: oknum)? Menurut berbagai riwayat, yang mengucapkannya adalah orang-orang yang baru masuk Islam. Oknum inilah yang mengatakan, “Karena jumlah kita banyak, kita tidak akan terkalahkan!” Ucapan oknum itulah yang diabadikan oleh Al Quran berikut ini.
Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para Mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai” (Q.S. At-Taubah: 25)
Mungkin karena terlalu percaya diri, maka sebagian kader jarang sekali mengucapkan insya Allah kala mengungkapkan optimismenya. Padahal ucapan insya Allah sangat urgen bagi seorang mukmin, bahkan bisa dikatakan dharuri. Artinya, kita akan hancur kalau tidak mengucapkan kata insya Allah. Seharusnya ucapan insya Allah kita jadikan sebagai karakter, budaya, dan gaya berbicara yang membedakan kita dengan yang lainnya.
Berikut ini adalah beberapa kisah yang menggambarkan betapa urgen dan dharuri-nya ucapan ‘insya Allah’ bagi seorang mukmin.
Kisah Pertama
Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, dikisahkan bahwa suatu hari, Nabi Sulaiman a.s. berkata, “Malam ini aku akan menyetubuhi 60 atau 70 istriku sehingga mereka hamil. Lalu, setiap istriku melahirkan seorang anak lelaki yang akan menjadi mujahid penunggang kuda fisabilillah.” Namun, Nabi Sulaiman a.s. lupa mengucapkan insya Allah.
Malam itu Nabi Sulaiman a.s. berhasil menyetubuhi 60 atau 70 istrinya, tetapi yang hamil hanya salah satu istrinya. Dan saat melahirkan, anak yang dilahirkannya tidak sempurna fisiknya, ia hanya berupa badan saja. Dalam riwayat lain, ia hanya sebelah manusia saja.
Rasulullah SAW bersabda :
“Kalau saja Nabi Sulaiman a.s. mengucapkan insya Allah, niscaya mereka akan berjihad di jalan Allah sebagai penunggang kuda semuanya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan :
“Semua wanita itu akan hamil (dan melahirkan) putra yang berjihad di jalan Allah” (H.R. Muslim)
Kisah Kedua
Di puncak pertarungan pemikiran antara Rasulullah SAW, dengan kafir Quraisy, orang-orang Quraisy mengirimkan dua orang cendekiawannya sebagai utusan khusus kepada orang-orang Yahudi di Madinah. Tujuannya, agar orang-orang Quraisy mendapatkan dukungan ilmu baru dalam menghadapi Rasulullah SAW, yakni An-Nadhar bin Al Harits dan ‘Uqbah bin Abi Mu’ith. Orang-orang Yahudi membekali dua orang cendekiawan itu dengan tiga pertanyaan yang harus mereka ajukan kepada Rasulullah SAW. pertanyaannya adalah:
Bagaimana kisah Ashhabul kahfi ?
Bagaimana kisah Dzul Qarnain ?
Apa yang dimaksud dengan ruh ?
Mendapatkan tiga pertanyaan seperti itu Rasulullah SAW bersabda, “Besok akan saya ceritakan dan saya jawab.” Akan tetapi beliau lupa mengucapkan insya Allah. Akibatnya, wahyu yang biasanya turun kepada beliau setiap kali menghadapi masalah, terhenti selama lima belas hari. Sedangkan orang-orang Quraisy setiap hari selalu datang menagih janji Rasulullah SAW. “Mana ceritanya ? Besok… besok… besok…,” begitu kira-kira ucapan orang-orang Quraisy itu. Rasulullah SAW sangat bersedih atas kejadian itu. Barulah setelah berlalu lima belas hari, Allah SWT menurunkan surat Al Kahfi yang berisi jawaban atas dua pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW, sedangkan pertanyaan yang ketiga disebutkan Allah SWT dalam surat Al Isra’ ayat 85.
Pada penghujung akhir kisah Ashhabul Kahfi, Allah SWT berfirman :
“Janganlah kamu sekali-kali mengatakan, ‘Sesungguhnya saya akan melakukan hal ini besok,’ kecuali dengan mengatakan insya Allah.” (Q.S. Al Kahfi: 23-24)
Mungkin ada orang yang berkata, “Bukankah Nabi Muhammad SAW telah diampuni dosanya baik yang telah lalu dan yang akan datang? Lalu, mengapa kesalahan kecil dan sepele ini mendapatkan hukuman sedemikian rupa? Bukankah kebaikan beliau selama ini bisa menutup kesalahan kecil atau sepele ini?” Jawabannya adalah:
Agar hal ini menjadi durus wa ‘ibar (pelajaran dan ibrah) bagi umatnya. Kalau orang selevel Rasulullah SAW saja dihukum sedemikian rupa, bagaimana dengan kita yang penuh dosa ?
Ada ungkapan yang mengatakan, “Hasanatul Abrar, sayyiatul muqarrabiin”. Artinya, ada hal-hal tertentu bagi orang-orang abrar (orang baik-baik) disebut sebagai hasanat, namun bagi orang-orang yang berkelas muqarrab (yang dekat dengan Allah dan menjadi kekasih-Nya) akan dinilai sebagai sayyiiat (keburukan).
Kisah Ketiga
Pada suatu hari, ketika Nabi Musa a.s. sedang mengajar kaummnya timbul sebuah pertanyaan, “Siapakah yang paling alim di antara kalian ?” Nabi Musa a.s. menjawab, “Saya.” Atas jawaban tersebut, Allah SWT menegurnya dan memberitahukan kepadanya bahwa ada seorang hamba Allah SWT yang lebih alim.
Singkat cerita, Nabi Musa a.s. ingin berguru kepada hamba Allah itu. Hamba Allah itu menerima lamaran Nabi Musa a.s., dengan syarat: Nabi Musa a.s. tidak boleh bertanya, berkomentar, apalagi mengingkari apa yang akan dilihatnya sebelum hal itu dijelaskan kepadanya. Nabi Musa a.s. menerima persyaratan itu.
Hamba Allah itu, yang tidak lain adalah Nabi Khidhir a.s., berkata, “Akan tetapi kamu tidak akan mampu bersabar.”
Spontan Nabi Musa a.s. menjawab, “Insya Allah kamu akan mendapati diriku sebagai orang yang sabar.”
Dalam jawaban ini, Nabi Musa a.s. mengucapkan insya Allah. Akan tetapi jawaban itu menunjukkan bahwa Nabi Musa a.s. kurang tawadhu’. Mengapa? Sebab, ia mengatakan, “…saya sebagai orang yang sabar.”
Beliau tidak mengatakan, “…saya sebagai bagian dari orang-orang yang bersabar.” Artinya, jawaban Nabi Musa a.s. dapat dikonotasikan seakan-akan di dunia ini tidak ada orang yang sabar selain dirinya.
Karena sedikit kurang tawadhu, terbuktilah bahwa Nabi Musa a.s. tidak bisa sabar dalam berguru kepada Nabi Khidhir a.s.. Mengapa? Sebab, setiap Nabi Khidhir a.s. berbuat sesuatu, Nabi Musa a.s. selalu berkomentar, bahkan mengingkarinya. (kisah lengkapnya bisa dilihat di Q.S. Al Kahfi: 60-82).
Rasulullah SAW bersabda :
“Kita sangat senang kalau saja Nabi Musa bersabar, niscaya akan banyak kisah yang bisa kita dapatkan darinya” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Jawaban Nabiyullah Musa a.s. berbeda dengan jawaban Nabiyullah Ismail a.s. ketika ayahandanya (Nabiyullah Ibrahim a.s.) berkata kepada sang putra yang dicintai itu, “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”
Ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.S. Ash-Shaffat: 102)
Jawaban Nabiyullah Ismail ini mengandung makna bahwa, di dunia ini banyak sekali orang yang sabar dan ia insya Allah termasuk salah seorang dari mereka. Kemudian, terbuktilah bahwa Nabi Ismail a.s. mampu bersabar.
Semoga Allah SWT menjadikan kita semua sebagai hamba-hambanya yang selalu mengembalikan sesuatu kepada masyi’ah Allah SWT, menjadi manusia-manusia yang tawadhu’ dan sabar. Amin (bukunya Membangun Ruh Baru – Taujih Pergerakan untuk Para Kader Dakwah) (dodytea)
Tag :
taujih musyaffa