Pensiunan jenderal bintang dua TNI ini masuk dalam barisan tim negosiator pembebasan 10 Warga Negara Indonesia (WNI) yang disandera kelompok teroris Abu Sayyaf. Bersama timnya setelah berhasil membebaskan para sandera itu, dia mengaku terkejut, tiba-tiba disalip di tikungan oleh Tim Surya Paloh di Bandara Zamboanga Filipina dengan menjemput 10 WNI yang disandera.
"Tapi ya sudah lah, nggak usah ribut-ributlah," kata Kivlan yang mengaku masih berada di Filipina saat dihubungi Rakyat Merdeka, kemarin. Berikut penjelasan Kivlan;
Sebenarnya bagaimana sih proses pelepasan sandera versi Anda?
Waktu disandera 26 Maret, terus tanggal 27 Maret perusahaan sudah mengirim tim runding. Yang satu tim runding yang pakai uang, tanggal 27 Maret, yang satu lagi tim tanpa uang melalui saya.
Kenapa Anda ikut dalam tim itu?
Karena saya sudah kenal wilayah ini, saya tugas di wilayah ini tahun 1995-1996, tugas perdamaian dan gencatan senjata. Dan saya punya kawan pemimpin pemberontak MNLF (Moro National liberation Front) Nur Misuari. Karena saya membantu gencatan senjata, sampai damai dan terbentuk wilayah otonomi Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARMM) Gubernurnya Nur Misuari. Saya bantu dia. Jadi saya dibantu lewat dia.
Lalu kaitannya dengan para penyandera?
Karena yang menyandera; Alhabsyi Misaya namanya, itu adalah bekas supir dan pengawal istrinya (Nur Misuari) waktu jadi Gubernur. Minta tolong lah saya sama dia (Nur Misuari) itu karena dia (Alhabsyi) bekas anak buahnya. Pasukan minta dikirim intelijen untuk mengepung supaya para sandera diserahkan secara damai. Dan yang menyandera nanti dikasih yang namanya sedekah.
Sedekah atau tebusan?
Ya itu semacam uang penghibur karena rawat mereka (sandera) hingga makan. Ini dengan cara damai.
Nah terkait dengan uang tebusan itu bagaimana?
Ada lagi yang diutus oleh perusahaan. Itu (tebusan) mintanya 50 juta peso. Sudah disiapkan perusahaan, yang bawa namanya Budiman. Budiman itu ada lima orang jalurnya. Uang itu dikawal juga, naik kapal menuju pulau Basilan, sampai Basilan ternyata tawanannya tidak ada. Itu tanggal 28. Karena tidak ada tawanan balik lagi bawa uangnya ke Zamboanga.
Bagaimana tim Anda bekerja?
Tim saya tujuh orang dari Indonesia. Itu bagian dari operasi intelijen antara BAIS TNI bersama intelijen Filipina. Jadi kita dengan pendekatan kekeluargaan. Kemudian kita mendekati Kepala Desa Panamau dan walikota untuk minta tolong.
Kenapa minta tolong ke mereka?
Jadi, mereka ini berkaitan saudara. Maka dari itu pendekatan yang kita lakukan kekeluargaan. Itu jalurnya saya.
Jadi Anda tidak ketemu langsung dengan penyanderanya?
Saya memakai yang namanya agen penghubung. Saya sudah mendekati satu agen yang langsung ketemu dengan para sanderanya. Saya minta tolong supaya dilepas dengan cara damai.
Anda ketemu dengan yayasan Sukma nggak?
Nah pada tanggal 27 tim yang dari yayasan (Yayasan Sukma, afiliasi Surya Paloh) datang. Mereka baru datang 27 April, kita sudah dari 27 Maret masuk. Dan pada tanggal 1 Mei pelepasan pukul 10.00. Pelepasannya itu naik speedboat dibawa ke pelabuhan Jolo, di Pulau Sulu. Diangkut pakai angkot diserahkan begitu saja di depan rumah Gubernur Toto Tan hujan-hujan. Dari situ datang orang yayasan.
Lalu kenapa tiba-tiba tim dari Yayasan Sukma yang jemput, bagaimana ceritanya?
Di Jolo dilepas saja begitu, tidak ada penyerahan kepada yayasan. Kepada saya juga diberitahukan oleh gubernur. Gubernurnya menerima (sandera), kasih minum dan makan serta pakaian kemudian diserahkan kepada angkatan perang Filipina, kemudian dibawa ke Bandara Kota Jolo diangkut pakai helikopter militer. Dibawa ke pangkalan militer di Kota Zambuanga. Rencananya kita mau bawa ke Manila, ke Duta Besar untuk serah terima, karena itulah prosedurnya. Nah, tiba-tiba kita lihat sudah ada pesawat terbang sipil, baru tahu itu miliknya Nasdem, Pak Surya Paloh. Kemudian dibawa ke Jakarta, karena merasa itu adalah kerja Yayasan Sukma.
Lalu, Anda kemana waktu di Zambuanga?
Tadinya saya mau hadir di situ, tapi karena operasinya operasi di bawah tangan, rahasia, operasi intelijen, saya tidak mau hadir di situ. Ada perwakilan kita Mayor Felix ada di Zambuanga yang menerima tawanan, dari kedutaan ada namanya Edi, tiba-tiba di situ hadirlah dari partai dan pesawatnya sudah siap ternyata mau dibawa langsung ke Jakarta, padahal mestinya dibawa ke Manila.
Respons dari perwakilan yang menunggu di sana?
Kita juga terkejut, lho kok tiba-tiba ada begitu. Jadi boleh dikatakan (Yayasan Sukma) menyalip di tikungan gitu.(rmol)
"Tapi ya sudah lah, nggak usah ribut-ributlah," kata Kivlan yang mengaku masih berada di Filipina saat dihubungi Rakyat Merdeka, kemarin. Berikut penjelasan Kivlan;
Sebenarnya bagaimana sih proses pelepasan sandera versi Anda?
Waktu disandera 26 Maret, terus tanggal 27 Maret perusahaan sudah mengirim tim runding. Yang satu tim runding yang pakai uang, tanggal 27 Maret, yang satu lagi tim tanpa uang melalui saya.
Kenapa Anda ikut dalam tim itu?
Karena saya sudah kenal wilayah ini, saya tugas di wilayah ini tahun 1995-1996, tugas perdamaian dan gencatan senjata. Dan saya punya kawan pemimpin pemberontak MNLF (Moro National liberation Front) Nur Misuari. Karena saya membantu gencatan senjata, sampai damai dan terbentuk wilayah otonomi Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARMM) Gubernurnya Nur Misuari. Saya bantu dia. Jadi saya dibantu lewat dia.
Lalu kaitannya dengan para penyandera?
Karena yang menyandera; Alhabsyi Misaya namanya, itu adalah bekas supir dan pengawal istrinya (Nur Misuari) waktu jadi Gubernur. Minta tolong lah saya sama dia (Nur Misuari) itu karena dia (Alhabsyi) bekas anak buahnya. Pasukan minta dikirim intelijen untuk mengepung supaya para sandera diserahkan secara damai. Dan yang menyandera nanti dikasih yang namanya sedekah.
Sedekah atau tebusan?
Ya itu semacam uang penghibur karena rawat mereka (sandera) hingga makan. Ini dengan cara damai.
Nah terkait dengan uang tebusan itu bagaimana?
Ada lagi yang diutus oleh perusahaan. Itu (tebusan) mintanya 50 juta peso. Sudah disiapkan perusahaan, yang bawa namanya Budiman. Budiman itu ada lima orang jalurnya. Uang itu dikawal juga, naik kapal menuju pulau Basilan, sampai Basilan ternyata tawanannya tidak ada. Itu tanggal 28. Karena tidak ada tawanan balik lagi bawa uangnya ke Zamboanga.
Bagaimana tim Anda bekerja?
Tim saya tujuh orang dari Indonesia. Itu bagian dari operasi intelijen antara BAIS TNI bersama intelijen Filipina. Jadi kita dengan pendekatan kekeluargaan. Kemudian kita mendekati Kepala Desa Panamau dan walikota untuk minta tolong.
Kenapa minta tolong ke mereka?
Jadi, mereka ini berkaitan saudara. Maka dari itu pendekatan yang kita lakukan kekeluargaan. Itu jalurnya saya.
Jadi Anda tidak ketemu langsung dengan penyanderanya?
Saya memakai yang namanya agen penghubung. Saya sudah mendekati satu agen yang langsung ketemu dengan para sanderanya. Saya minta tolong supaya dilepas dengan cara damai.
Anda ketemu dengan yayasan Sukma nggak?
Nah pada tanggal 27 tim yang dari yayasan (Yayasan Sukma, afiliasi Surya Paloh) datang. Mereka baru datang 27 April, kita sudah dari 27 Maret masuk. Dan pada tanggal 1 Mei pelepasan pukul 10.00. Pelepasannya itu naik speedboat dibawa ke pelabuhan Jolo, di Pulau Sulu. Diangkut pakai angkot diserahkan begitu saja di depan rumah Gubernur Toto Tan hujan-hujan. Dari situ datang orang yayasan.
Lalu kenapa tiba-tiba tim dari Yayasan Sukma yang jemput, bagaimana ceritanya?
Di Jolo dilepas saja begitu, tidak ada penyerahan kepada yayasan. Kepada saya juga diberitahukan oleh gubernur. Gubernurnya menerima (sandera), kasih minum dan makan serta pakaian kemudian diserahkan kepada angkatan perang Filipina, kemudian dibawa ke Bandara Kota Jolo diangkut pakai helikopter militer. Dibawa ke pangkalan militer di Kota Zambuanga. Rencananya kita mau bawa ke Manila, ke Duta Besar untuk serah terima, karena itulah prosedurnya. Nah, tiba-tiba kita lihat sudah ada pesawat terbang sipil, baru tahu itu miliknya Nasdem, Pak Surya Paloh. Kemudian dibawa ke Jakarta, karena merasa itu adalah kerja Yayasan Sukma.
Lalu, Anda kemana waktu di Zambuanga?
Tadinya saya mau hadir di situ, tapi karena operasinya operasi di bawah tangan, rahasia, operasi intelijen, saya tidak mau hadir di situ. Ada perwakilan kita Mayor Felix ada di Zambuanga yang menerima tawanan, dari kedutaan ada namanya Edi, tiba-tiba di situ hadirlah dari partai dan pesawatnya sudah siap ternyata mau dibawa langsung ke Jakarta, padahal mestinya dibawa ke Manila.
Respons dari perwakilan yang menunggu di sana?
Kita juga terkejut, lho kok tiba-tiba ada begitu. Jadi boleh dikatakan (Yayasan Sukma) menyalip di tikungan gitu.(rmol)
Tag :
internasional