Rektor UI Tidak Boleh Ikuti Titah Ahok Untuk Pecat Boby

Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Ir Muhammad Anis, M. Met. tidak boleh mengikuti titah Gubernur Ahok untuk memecat mahasiswa yang menyuarakan sikap anti dan menolak Ahok dicalonkan kembali dalam bursa pilgub DKI Jakarta 2017.

Hal ini ditegaskan oleh koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB.) Adhie M Massardi, Jumat (9/9).


Rektor UI, kata Adhie, tidak boleh secara tidak semena-mena memecat Boby Febri Krisdiyanto yang mengunggah video orasi anti-Ahok bertajuk Gema Pembebasan UI Tolak Ahok di sosial media sebagaimana titah Gubernur Ahok dalam pernyataan terbukanya di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (7/9) lalu.

Adhie juga mengingatkan agar Rektor UI tidak mengintimidasi Boby karena dihasut oleh koleganya di jajaran rektorat, seperti dosen dan guru besar yang menjadi simpatisan dan bahkan tim sukses atau konsultan politik Gubernur Ahok.

Hal ini disampaikan inisiator Gerakan Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih ini karena melihat ada kejanggalan dengan beredarnya surat bermaterai Rp 6000 berisi permohonan maaf dan penyesalan Boby atau video orasinya.

"Kalau surat penyesalan dan permohonan maaf itu benar-benar dibuat mahasiswa Ilmu Keperawatan UI ini, ada kemungkinan akibat intimidasi rektorat yang sudah terkontaminasi politik partisan para pejabat UI," kata Adhie.

"Sebab sungguh mustahil mahasiswa yang sudah berani orasi terbuka menyatakan sikap politiknya tiba-tiba berubah begitu cepat menjadi pengecut hanya karena pernyataan Ahok yang minta dia dipecat dari UI dan disuruh pindah ke Timur Tengah karena pemikirannya menggunakan terminologi Islam," sambungnya.

Menurut jubir presiden era KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini, sebenarnya tidak ada yang salah dengan isi orasi dan jaket almamater serta properti UI yang dipakai Boby karena faktanya dia memang mahasiswa UI. Apalagi UI tidak dipakai untuk korupsi intelektual demi keuntungan finansial pribadinya.

"Justru yang harus ditertibkan oleh Rektor UI dan rektor-rektor PT lainnya adalah dosen dan guru besar yang mengail dalam kekeruhan demokrasi kita dengan menggunakan bendera almamater untuk menjadi simpatisan/pendukung (partisan), dan bahkan konsultan politik resmi para kandidat pilkada," kata Adhie.

"Memang patut disesalkan munculnya tren para intelektual kampus ternama di Indonesia yang menjadikan demokrasi sebagai lahan bisnis, dengan menafikan norma, etika dan akal sehat. Padahal tugas moral intelektual adalah memberikan pencerahan kepada masyarakat agar tidak tersesat dalam rezim pemilu yang kian kotor karena uang serta siasat membohongi pemilih yang mayoritas memang minim pendidikan dan informasi politik," tukas Adhie.[rmol]

pageads
Tag : Pilgub DKI