Konsumen jangan kaget bila tiap membayar barang belanjaan, dikenakan biaya kantong plastik. Rencananya, aturan plastik berbayar ini diberlakukan pada 21 Februari nanti.
Atas rencana plastik berbayar ini, aktivis Prodem (Pro Demokrasi), Bob Randilawe menolak keras. Bukan soal harga, namun aspek akuntabilitas publik dari pungutan tersebut, layak dipertanyakan.
Selanjutnya Ketua Majelis Prodem mencontohkan, apabila biaya plastik mengacu kepada standar Eropa sebesar Rp 1.500, maka dana yang terkumpul sangatlah besar.
"Kalau ada 10 juta orang berbelanja dalam sehari, tinggal dikalikan dengan Rp 1.500. Cukup besar kan? Itu baru sehari lho. Lalu kemana larinya dana itu? Jangan-jangan hanya akal-akalan pengusaha saja," papar Bob kepada wartawan di Jakarta, Kamis (11/2/2016).
Bob bilang, mengenai besaran tarif plastik berbayar ini, kemungkinan masih dalam pembahasan. Namun, besar atau kecil, aturan ini tetaplah harus dikritisi. "Kita juga wajib tahu, penetapan harga (plastik berbayar) harus ada uji publik," jelas Bob.
Terkait aturan plastik berbayar ini, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mandey memastikan bakal diberlakukan pada Februari ini. Saat ini, aturannya masih digodok di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
"Mereka (Kementerian LHK) lagi persiapan, tanggalnya masih belum di konfirmasi lagi. Kemungkinan 21 Februari, itu komitmen bersama antara kementerian LHK dengan toko ritel," ujar Roy.
Roy mengungkapkan, aturan plastik berbayar bakal diterapkan di 15 provinsi yang berpenduduk padat. Namun, tidak semua toko ritel di 15 provinsi itu, setuju dengan rencana ini.
Sementara, Ketua Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Indonesia, Eddy Ganefo menolak keras rencana ini. Alasannya, biaya plastik sudah termasuk harga barang belanjaan.
"Kalau diterapkan murah, itu tidak ada masalah. Sebetulnya tidak perlu bayar, karena komponen ini sudah termasuk harga bayar," ujar Eddy.
Hanya saja, kata Eddy, apabila plastik berbayar ditetapkan sebesar Rp 1.000, maka perlu dipertimbangkan secara matang oleh pemerintah. Dikhawatirkan kebijakan ini berdampak kepada gejolak di masyarakat.
"Untuk berbayar Rp 1.000 ini sudah berat sekali. Rp 1.000 kali 700 orang sudah lumayan untuk cicilan rumah," tuturnya.
Selanjutnya Eddy berharap agar pemerintah berhati-hati dalam memutuskan masalah ini. Saat ini, daya beli masih terkulai. Bisa semakin terkulai apabila pemerintah menerapkan kewajiban plastik berbayar untuk tiap berbelanja.[inilah]
Atas rencana plastik berbayar ini, aktivis Prodem (Pro Demokrasi), Bob Randilawe menolak keras. Bukan soal harga, namun aspek akuntabilitas publik dari pungutan tersebut, layak dipertanyakan.
Selanjutnya Ketua Majelis Prodem mencontohkan, apabila biaya plastik mengacu kepada standar Eropa sebesar Rp 1.500, maka dana yang terkumpul sangatlah besar.
"Kalau ada 10 juta orang berbelanja dalam sehari, tinggal dikalikan dengan Rp 1.500. Cukup besar kan? Itu baru sehari lho. Lalu kemana larinya dana itu? Jangan-jangan hanya akal-akalan pengusaha saja," papar Bob kepada wartawan di Jakarta, Kamis (11/2/2016).
Bob bilang, mengenai besaran tarif plastik berbayar ini, kemungkinan masih dalam pembahasan. Namun, besar atau kecil, aturan ini tetaplah harus dikritisi. "Kita juga wajib tahu, penetapan harga (plastik berbayar) harus ada uji publik," jelas Bob.
Terkait aturan plastik berbayar ini, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mandey memastikan bakal diberlakukan pada Februari ini. Saat ini, aturannya masih digodok di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
"Mereka (Kementerian LHK) lagi persiapan, tanggalnya masih belum di konfirmasi lagi. Kemungkinan 21 Februari, itu komitmen bersama antara kementerian LHK dengan toko ritel," ujar Roy.
Roy mengungkapkan, aturan plastik berbayar bakal diterapkan di 15 provinsi yang berpenduduk padat. Namun, tidak semua toko ritel di 15 provinsi itu, setuju dengan rencana ini.
Sementara, Ketua Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Indonesia, Eddy Ganefo menolak keras rencana ini. Alasannya, biaya plastik sudah termasuk harga barang belanjaan.
"Kalau diterapkan murah, itu tidak ada masalah. Sebetulnya tidak perlu bayar, karena komponen ini sudah termasuk harga bayar," ujar Eddy.
Hanya saja, kata Eddy, apabila plastik berbayar ditetapkan sebesar Rp 1.000, maka perlu dipertimbangkan secara matang oleh pemerintah. Dikhawatirkan kebijakan ini berdampak kepada gejolak di masyarakat.
"Untuk berbayar Rp 1.000 ini sudah berat sekali. Rp 1.000 kali 700 orang sudah lumayan untuk cicilan rumah," tuturnya.
Selanjutnya Eddy berharap agar pemerintah berhati-hati dalam memutuskan masalah ini. Saat ini, daya beli masih terkulai. Bisa semakin terkulai apabila pemerintah menerapkan kewajiban plastik berbayar untuk tiap berbelanja.[inilah]
Tag :
ekbis