Kamp-kamp darurat di sepanjang perbatasan Suriah dengan Turki nampak kewalahan akibat dibanjiri oleh para keluarga pengungsi. Petugas bantuan pun memperingatkan rezim Suriah yang terus-menerus melancarkan serangan melawan pemberontak, Selasa (9/2).
Orang-orang terlihat tidur di jalan-jalan baik di dalam dan di sekita kota Azaz, Suriah, di dekat perbatasan. Bahkan satu tenda bisa dihuni hingga 20 orang. Masalah ini semakin parah karena mereka terpaksa meninggalkan rumah tanpa membawa apapun kecuali pakaian yang melekat di badannya.
“Tak ada tempat untuk tidur bagi para keluarga. Banyak dari mereka di hari-hari pertama tidur di jalan-jalan dan di luar ruangan tanpa selimut atau pelindung. Sebagian besar keluarga meninggalkan rumah dengan pakaian yang melekat di tubuhnya,” ujar Ahmad al-Mohammad, seorang pekerja lapangan dengan kelompok Dokter Lintas Batas atau Doctors Without Borders (MSF).
Dia menambahkan kondisi yang penuh sesak dan cuaca dingin menyebabkan timbulnya masalah kesehatan, temasuk diare.
Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terdapat hingga 31.000 orang yang melarikan diri dari kota Aleppo dan sekitarnya dalam beberapa hari terakhir, yakni pada saat pasukan pemerintah menyerang dengan mengepung bagian kota yang dikuasai pemebrontak.
Konflik Suriah yang sudah berlangsung hampir 5 tahun ini diklaim telah menewaskan 260.000 orang dan mengakibatkan separuh penduduk mengungsi.
Tindak kekerasan terus-menerus menghantam Damaskus. Bahkan Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, yang berbasis di Inggri, melaporkan, Selasa, terjadi ledakan bom mobil yang menewaskn sedikitnya 8 orang di sebuah tempat berkumpul polisi di bagian utara kota.
Wakil Perdana Menteri Turki Numan Kurtulmus mengatakan, Senin (8/2), skenario terburuknya adalah kemunculan hingga 600.000 pengungsi yang tiba di perbatasan.
“Tujuan kami untuk saat ini adalah menahan gelombang migran di sisi lain dari perbatasan Turki sebanyak mungkin, dan menyediakan layanan yang dibutuhkan di sana,” tutur Kurtulmus.
Kamp-kamp Penuh Sesak
Turki sendiri menjadi tuan rumah lebih dari 2,5 juta pengungi perang sipil Suriah dan tengah dihadapkan dengan seruan untuk membiarkan para pengungsi terjebak di perbatasan.
Namun, pihaknya juga berada di bawah tekanan dari para pemimpin Eropa siupaya menghentikan arus masuk orang-orang yang mencoba menyeberangi Mediterania dari Turki menuju Eropa.
Akibat masih ditutupnya akses masuk ke perbatasan, Selasa, kerumunan besar warga Suriah, terutama perempuan dan anak-anak, terpaksa harus menunggu di sisi lain perbatasan Turki, Oncupinar. Hanya petugas darurat yang diizinkan lewat.
Namun ada pengecualian bagi warga yang terluka. Menurut seorang pejabat Turki ada empat warga Suriah yang terluka dan diperbolehkan lewat, Senin.
Sementara itu, MSF melaporkan, kelompok bantuan membagi-bagikan pakaian hangat dan matras kepada orang-orang yang terdampar di sisi Suriah.
“Mereka terjebak. Mereka sudah meninggalkan rumahnya dan segala yang mereka miliki dan mereka tidak bisa masuk ke Turki,” lapornya.(beritasatu)
Orang-orang terlihat tidur di jalan-jalan baik di dalam dan di sekita kota Azaz, Suriah, di dekat perbatasan. Bahkan satu tenda bisa dihuni hingga 20 orang. Masalah ini semakin parah karena mereka terpaksa meninggalkan rumah tanpa membawa apapun kecuali pakaian yang melekat di badannya.
“Tak ada tempat untuk tidur bagi para keluarga. Banyak dari mereka di hari-hari pertama tidur di jalan-jalan dan di luar ruangan tanpa selimut atau pelindung. Sebagian besar keluarga meninggalkan rumah dengan pakaian yang melekat di tubuhnya,” ujar Ahmad al-Mohammad, seorang pekerja lapangan dengan kelompok Dokter Lintas Batas atau Doctors Without Borders (MSF).
Dia menambahkan kondisi yang penuh sesak dan cuaca dingin menyebabkan timbulnya masalah kesehatan, temasuk diare.
Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terdapat hingga 31.000 orang yang melarikan diri dari kota Aleppo dan sekitarnya dalam beberapa hari terakhir, yakni pada saat pasukan pemerintah menyerang dengan mengepung bagian kota yang dikuasai pemebrontak.
Konflik Suriah yang sudah berlangsung hampir 5 tahun ini diklaim telah menewaskan 260.000 orang dan mengakibatkan separuh penduduk mengungsi.
Tindak kekerasan terus-menerus menghantam Damaskus. Bahkan Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, yang berbasis di Inggri, melaporkan, Selasa, terjadi ledakan bom mobil yang menewaskn sedikitnya 8 orang di sebuah tempat berkumpul polisi di bagian utara kota.
Wakil Perdana Menteri Turki Numan Kurtulmus mengatakan, Senin (8/2), skenario terburuknya adalah kemunculan hingga 600.000 pengungsi yang tiba di perbatasan.
“Tujuan kami untuk saat ini adalah menahan gelombang migran di sisi lain dari perbatasan Turki sebanyak mungkin, dan menyediakan layanan yang dibutuhkan di sana,” tutur Kurtulmus.
Kamp-kamp Penuh Sesak
Turki sendiri menjadi tuan rumah lebih dari 2,5 juta pengungi perang sipil Suriah dan tengah dihadapkan dengan seruan untuk membiarkan para pengungsi terjebak di perbatasan.
Namun, pihaknya juga berada di bawah tekanan dari para pemimpin Eropa siupaya menghentikan arus masuk orang-orang yang mencoba menyeberangi Mediterania dari Turki menuju Eropa.
Akibat masih ditutupnya akses masuk ke perbatasan, Selasa, kerumunan besar warga Suriah, terutama perempuan dan anak-anak, terpaksa harus menunggu di sisi lain perbatasan Turki, Oncupinar. Hanya petugas darurat yang diizinkan lewat.
Namun ada pengecualian bagi warga yang terluka. Menurut seorang pejabat Turki ada empat warga Suriah yang terluka dan diperbolehkan lewat, Senin.
Sementara itu, MSF melaporkan, kelompok bantuan membagi-bagikan pakaian hangat dan matras kepada orang-orang yang terdampar di sisi Suriah.
“Mereka terjebak. Mereka sudah meninggalkan rumahnya dan segala yang mereka miliki dan mereka tidak bisa masuk ke Turki,” lapornya.(beritasatu)
Tag :
internasional