Selain peta politik, sikap dan pendapat atau argumentasi sebagian anggota panja juga berubah.
Menurut Malik, sebagaimana hasil rapat konsinyering antara Panja RUU Pilkada dengan Kemendagri di Wisma Griya Sabha Kopo DPR RI, Cisarua, Puncak, Bogor, Jawa Barat pada 1-3 September 2014, lima fraksi parpol pengusung capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa atau tergabung dalam Koalisi Merah-Putih (KMP), yakni Golkar, Demokrat, PAN, PPP dan Gerindra menginginkan pilkada dilakukan secara tidak langsung atau melalui DPRD.
Sementara, saat itu PKS pun setuju dengan barisan fraksi parpol pengusung Jokowi-JK, yakni PDIP, PKB dan Hanura, agar pilkada digelar secara langsung.
"Awalnya, PKS ingin langsung-langsung, tapi kabar terakhir sudah pindah, ingin pilkada melalui DPRD," kata Malik saat ditemui di Komisi II Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (8/9/2014).
Malik menceritakan, pemerintah melalui Kemendagri telah menyiapkan draf RUU Pilkada sejak 2010.
Namun, Panja RUU Pilkada Komisi II DPR bersama Kemendagri efektif memulai pembahasan RUU tersebut pada Juni 2012. Semula, mereka menargetkan penyelesaian penggodokan RUU tersebut pada September 2013. Namun, target tidak tercapai karena beberapa alasan, termasuk seringnya peserta rapat tidak memenuhi batas minimal jumlah peserta atau tidak kuorum.
Selanjutnya, panja dan Kemendagri menargetkan menyelesaikan RUU Pilkada sebelum Pemilu 2014 sehingga undang-undang tersebut bisa diterapkan setelah pemilu tersebut.
Namun, dalam perjalanan panja bersama Kemendagri, RUU tersebut belum bisa diselesaikan sebelum Pemilu 2014. Dan lagi target tidak tercapai.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyebut, RUU Pilkada merupakan satu dari tiga RUU pecahan Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (pemda). Dua RUU lainnya, yakni RUU Pemda itu sendiri dan RUU Desa yang belum lama ini sudah disahkan. Karena pecahan dari UU Pemda, maka ketiga RUU tersebut saling terkait.
Gamawan menyebut RUU yang satu ini tidak kunjung rampung kendati sudah sepuluh kali masa sidang DPR.
Menurut Malik, saat awal pembahasan RUU Pilkada pada 2012, seluruh anggota panja setuju adanya Undang-undang Pilkada ini karena menginginkan pilkada lebih efisien, lebih bersih dan berlangsung aman.
Ada beberapa isu krusial yang diperdebatkan oleh sesama anggota Panja maupun dengan pihak Kemendagri terkait butir-butir RUU Pilkada tersebut.
Isu-isu krusial tersebut di antaranya, mekanisme pilkada (gubernur, wali kota dan bupati) dengan serentak dan langsung atau tidak langsung (DPRD) dan cara menentukan wakil kepala daerah yakni sistem paket seperti sekarang ini atau tidak paket, yakni kepala daerah memilih sendiri wakilnya dari kalangan birokrat (PNS).
"Semua itu sampai sekarang tidak selesai. Saat itu dominan tidak paket. Pemerintah usulkan tidak paket, karena kalau paket selalu diselingi konflik, maka dimungkinkan tidak paket dengan karir," ujar Malik.
Isu krusial lainnya di RUU Pilkada, yakni tentang pembiayaan pilkada berasal dari APBD atau APBN dan tempat penyelesaian sengketa pilkada di Mahkamah Konsitusi atau Mahkamah Agung untuk sengketa pemilihan gubernur dan Pengadilan Tinggi untuk sengketa pemilihan bupati/wali kota.
"Hari ini isu yang krusial mekanisme pemilihan gubernur, wali kota dan bupati dan isu paket atau tidak paket. Tetapi, yang paket dan tidak paket selesai," terangnya.
Menurutnya, perubahan sikap disertai perdebatan alot para anggota Panja dan perwakilan Kemendagri mulai terjadi seminggu terakhir ini atau setelah rapat di Wisma Griya Sabha Kopo DPR RI, Puncak, Bogor, pada 1-3 September 2014.
Saat itu, seluruh fraksi parpol pendukung KMP Prabowo-Hatta, terkecuali PKS, menginginkan mekanisme pelaksanaan pilkada dilakukan secara serentak dan melalui pemilihan di DPRD. Sementara, PDIP, PKB dan Hanura konsisten pilkada secara serentak dan langsung.
Namun, saat ini keenam fraksi parpol pengusung Prabowo-Hatta kompak menginginkan mekanisme pilkada dilakukan lewat DPRD.
"Jadi, setelah rapat 1-3 September 2014 itu baru kelihatan, sebagian besar partai politik dalam KMP itu tiba-tiba menjadi ingin pilkada di DPRD. Jadi, nggak selesai lagi," ujarnya.
Menurut Malik, sebenarnya seluruh anggota fraksi KMP tersebut juga sudah mendukung pilkada dilakukan secara langsung pada saat rapat Panja RUU Pilkada di Hotel Ambhara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Januari 2014. "Itu rapat terakhir sebelum Pemilu 2014. Tapi, tiba-tiba berubah setelah hasil pilpres kemarin itu," kata Malik.
"Jadi, menurut saya, perubahaan itu sangat politis dan karena kepentingan politik sesaat," imbuhnya.
Malik melihat perubahan sikap para anggota panja dari fraksi parpol koalisi KMP ini seolah sudah kompak. Sebab, perubahan sikap tersebut terjadi pasca-Pilpres 2014. "Saya nggak tahu persis apa penyebabnya, tapi tiba-tiba di catatan kami, yang DPRD itu. Awalnya, PKS ingin langsung-langsung, tapi kabar terakhir sudah pindah ke DPRD. Jadi, mungkin semua fraksi yang tergabung di situ ngotot," tuturnya
Ia menduga ada kepentingan politik besar di balik perubahan sikap yang drastis dari anggota Panja asal koalisi KMP tersebut. "Tapi, perubahan politik itu di luar kemampuan, kajian dan analisis kami. Dalam artian, ada kepentingan besar di belakang itu yang mengubah mereka. Saya nggak ngerti apa kepentingannya itu," ujarnya.
Menurutnya, hasil Pilpres 2014 yang akhirnya memenangkan Jokowi-JK yang mengubah konstelasi dan kekuatan politik secara tidak langsung mengubah kejernihan berpikir anggota Panja RUU Pilkada dari barisan KMP.
"Sebetulnya nggak disengaja, cuma karena tadinya belum diketahui hasil pemilunya, orang-orang di sini lebih jernih. Dan waktu itu, sebagian besar langsung-langsung. Cuma setelah pilpres selesai, jadi hank semua," kata Malik.
Ia menambahkan, sikap terakhir pemerintah melalui Kemendagri, yakni menginginkan pilkada dilakukan secara serentak dan langsung-langsung. "Sampai hari ini belum ada perubahan. Malah ini fraksi Partai Demokrat-nya berbeda dengan pemerintah-nya," sindirnya. (tribunews)
Tag :
nasional